Ulama ,
Pemimpin dan Pejuang yang Gigih Membela Aqidah Islam
Adalah
Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dia adalah putra dari
pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Sayyid Khatib Bayanuddin,
adalah seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh
Kota.Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh
beberapa gelar, yaitu Peto Syarif , Malin Basa , dan Tuanku Imam . Tuanku nan
Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan
salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di
Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Dia dibesarkan dalam keluarga yang memegang
tradisi Minang. Saat muda, Muhammad Shahab sudah mempelajari ilmu agama dari
orangtuanya yang merupakan ulama setempat. Beliau memperoleh ilmu agama dari
pesantren-pesantren dan berguru pada ulama ternama di Sumatera. Beliau juga
mendalami tasawuf, ilmu fiqih, studi Alquran, dan Dalil. Sembari belajar agama,
Muhammad Shahab rutin mengadakan pengajian dan menjadi pembicara bagi
masyarakat setempat.
Tuanku Imam Bonjol, wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di
lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864, adalah salah seorang ulama,
pemimpin dan pejuang yang gigih berperang melawan Belanda dalam perang yang
dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.
Riwayat Perang Padri
1. Perang
Antara Golongan Ulama (Padri) melawan Golongan Adat
Pada awalnya timbulnya peperangan ini
didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk
menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah
(Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. .
Kaum adat adalah golongan yang masih
memegang teguh tradisi-tradisi lama yang bertolak belakang dengan ajaran Agama
Islam seperti bid'ah, sabung ayam, judi, minuman keras, dll. Dalam hal ini kaum
adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung.
Timbulnya perang antara ulama dengan
masyarakat adat dimulai ketika salah satu pemimpin ulama yang tergabung dalam
Harimau Nan salapan, meminta tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Agung
Sultan Arifin Muningsyah Kerajaan Paruyung,
beserta kaum adat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak
sesuai dengan Islam. Permintaan ini akhirnya diadakan beberapa negosiasi, tapi
perkembangannya tidak ada kesepakatan dalam negosiasi tersebut.
Beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung
bergejolak dan akhirnya para ulama (Paderi) menyerang Pagaruyung pada tahun
1815 dan pecahlah pertempuran yang mengakibatkan mengungsinya Sultan Arifin
Muningsyah ke ibu kota kerajaan Lubuk Jambi.
2.Perang
Antara Golongan Ulama melawan Gabungan Kelompok Adat & Belanda
Kekalahan yang dialami oleh kaum Adat,
memaksa mereka meminta bantuan kepada Belanda.Tanggal 21 Februari 1821, kaum
adat secara resmi bekerjasama dan mengadakan perjanjian dengan Belanda di
Padang, sebagai kompensasi bantuan Belanda, Kerajaan Pagaruyung memberikan hak
akses dan penguasaan di wilayah Darek. Dalam perjanjian ini dihadiri juga oleh
keluarga kerajaan Pagaruyung oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar.
Keikutsertaan Belanda dalam perang paderi
ditandai dengan penyerangan simawang dan sulit air bawah tim kapten Goffinet
dan kapten Dienema atas perintah Residen James du Puy di Padang pada tanggal
1821.
Gigihnya perlawanan yang dilakukan Imam
bonjol menipisnya kekuatan Belanda di Sumatera dan juga adanya peperangan di
daerah lain seperti Perang Diponegoro, memaksa Belanda untuk mengadakan
perjanjian perdamaian dengan kaum ulama, perjanjian itu dinamakan Perjanjian
Masang tahun 1824. Tapi perjanjian itu rupanya hanya siasat Belanda sendiri dan
akhirnya dilanggar sendiri setelah berakhirnya perang Pangeran Diponegoro.
3.Perang
Antara Gabungan Kelompok Ulama & Adat melawan Belanda
Melihat kelicikan Kolonial Belanda yang
melanggar perjanjian Masang, dan kaum Adat merasa telah dirugikan oleh Belanda
yang “bermuka-dua” tersebut , maka timbullah kesadaran berdamai dari pihak
pribumi. Sebab perang saudara yang telah berlangsung selama 18 tahun itu sudah
menyengsarakan rakyat Minang.Kesadaran akan perjuangan bersama mengusir belanda
ini ditandai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato
di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi
Kitabullah (Adat berdasarkan Agama , Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)
Dengan
pasukan kekuatan penuh, dari beberapa catatan sejarah kekuatan Belanda saat itu
berjumlah 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130
tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu
Sumenep, Madura). Dengan pemimpin tim seperti; Mayor Jendral Cochius, Letnan
Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu
Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga ada nama-namaInlandsche
(pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo,
Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Belanda menyerang pertahanan ulama di benteng Bonjol dari berbagai jurusan
selama kurang lebih enam bulan (20 Juli 1837).
Belanda terus menerus mendatangkan
tambahan kekuatan dari Batavia, pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal
Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1sergeant
, 4 korporaals dan 112 flankeurs . Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu
Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali.
Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Berakhirnya Perang Padri
Dengan datangnya tambahan kekuatan dari
pihak Belanda mengakibatkan jatuhnya benteng Bonjol ke tangan Belanda. Akan
tetapi pemimpin dan pejuang Paderi berlari ke hutan dan tidak sudi untuk
menyerahkan diri.
Untuk menangkap Imam Bonjol, Belanda
menggunakan akal licik yaitu menjebak dengan cara mengundang Imam Bonjol ke
Palupuh pada bulan oktober 1837 untuk berkonsultasi mengakhiri perang. Tapi
tiba-tiba ditempat itu dikepung dan Imam Bonjol di asingkan ke Cianjur, Jawa
Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke lotak, Minahasa, Manado,
sekaligus tempat akhir hayat Tuanku Imam Bonjol. Beliau dimakamkan ditempat
pengasingan pada tanggal 8 November 1864.
(“Semoga
Allah SWT Melimpahkan Rahmat dan Keridhoan-Nya kepada Tuanku Imam
Bonjol...Amiiin..ya..Robbal’Alamiin.”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar