Sejarah Penciptaan Lambang “Garuda Pancasila” Yang
Terlupakan
Siapa perancang lambang negara Indonesia Garuda Pancasila..?
Sejumlah pengamat menyebut nama Sultan Hamid II Alkadrie. Penguasa Kalimantan
Barat pada masanya ini sangat berjasa, terutama dalam perjuangan diplomatik
Indonesia. Namun sejarah “resmi” terkesan menutup-nutupinya.
Eksistensi Sultan Hamid II dalam sejarah perjuangan rakyat
Indonesia nyaris tak terasa. Padahal, dialah desainer lambang negara
Indonesia, Burung Garuda, biasa juga disebut ”Garuda Pancasila”. Meski sejarah
menutup-nutupi, sumbangsih Sultan Hamid II selaku perancang lambang negara
Indonesia tersebut tak boleh dilupakan.Boleh jadi sejarah dan pencatatan
sejarah tidak berpihak kepada sultan yang cerdas ini.
Begitulah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya
menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya
karena adanya perbedaan pandangan, seperti adanya perbedaan visi seperti
mengenai ideologi dan model atau bentuk negara, serta adanya pertentangan
politik akibat perbedaan itu. Terutama jika bertentangan dengan rezim yang
berkuasa. Biasanya, rezim yang berkuasalah yang menentukan seperti apa
sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.
Secara politik, sebenarnya tak ada alasan untuk menghalangi
pengakuan terhadap hasil karya Sultan Hamid II. Namun entah kenapa hingga hari
ini hal itu masih belum dapat terealisasikan.Sultan Hamid II kadung dianggap
sebagai tokoh makar. Namanya disudutkan, kariernya dihitamkan, padahal berkat
karyanya dinding istana dan kantor-kantor pemerintahan di republik ini
menjadi berwibawa dengan lambang Garuda Pancasila.
Namun jangan coba mencari lambang Garuda di dinding Istana
Kadriyah. Tak bakal ketemu. Sultan Hamid telah berwasiat kepada anak-cucunya
agar tidak memajang lambang negara sebelum negara mengakui hasil karyanya
Sultan yang Cerdas
Adalah Turiman yang membuktikan kebenaran ini dalam tesis
S-2 di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia pada 11 Agustus 1999
yang berjudul Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia, Suatu Analisis
Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan. Dalam
tesisnya yang dibimbing oleh Prof. Dimyati Hartono, Turiman mempertahankan
secara yuridis dengan data-data yang akurat mengenai siapa sebenarnya pencipta
lambang negara Burung Garuda.
Sultan Hamid II, yang juga sultan kedelapan dari Kesultanan
Kadriyah Pontianak, memiliki nama lengkap Abdurrahman Hamid Alkadrie. Putra
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak, ini lahir di
Pontianak pada 12 Juli 1913. Ayahnya adalah pendiri kota Pontianak.
Sultan Hamid II dikenal cerdas. Ia adalah orang Indonesia
pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda
Belanda, semacam Akabri, dengan pangkat letnan dua infanteri pada 1936. Ia juga
menjadi ajudan Ratu Juliana dengan pangkat terakhir mayor jenderal.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10
Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan
mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Setelah ayahnya mangkat akibat
agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 ia diangkat menjadi sultan Pontianak,
menggantikan ayahnya, dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh
jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB)
berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan
Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC, dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh pangkat tertinggi
sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia pertama yang
memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Mengkoordinasi Kegiatan Perancangan
Sultan Hamid adalah salah satu tokoh penting nasional dalam
mendirikan Republik Indonesia bersama rekan seangkatannya, Soekarno, Muhammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, dan Muhammad Yamin.
Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid pernah menjadi
ketua Delegasi BFO (Wakil Daerah/Negara buatan Belanda) dalam Konferensi Meja
Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Ia juga menjadi saksi pelantikan
Soekarno sebagai presiden RI di Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949. Ini
terlihat dalam foto yang dimuat di Buku 50 Tahun Indonesia Merdeka.
Sepak terjangnya di dunia politik menjadi salah satu alasan
bagi Presiden Soekarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai menteri negara
zonder porto folio di Kabinet RIS 1949-1950.
Dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia yang dimuat dalam
50 Tahun Indonesia Merdeka disebutkan, pada 13 Juli1945, dalam Rapat Panitia
Perancang Undang-undang Dasar, salah satu anggota Panitia, Parada Harahap,
mengusulkan ihwal lambang negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Sultan
Hamid Alkadrie II diangkat sebagai menteri negara RIS. Dalam kedudukannya
ini, ia dipercaya oleh Presiden Sukarno mengoordinasi kegiatan perancangan.
Bhinneka Tunggal Ika
Dari transkrip rekaman dialog Sultan
Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen
proses perancangan lambang negara disebutkan, “ide perisai Pancasila” muncul
saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Ia teringat ucapan
Presiden Soekarno bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup
bangsa, dasar negara Indonesia, yang mana sila-sila dasar negara, yaitu Pancasila,
divisualisasikan dalam lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuklah Panitia Teknis dengan
nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto
Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki
Hajar Dewantoro, M.A. Pellaupessy, Moh. Natsir, dan R.M. Ng. Purbatjaraka
sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang
negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam
buku Bung Hatta Menjawab, untuk melaksanakan keputusan sidang
kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara.
Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya
Sultan Hamid II dan karya M. Yamin.
Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR
RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak, karena
menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang
(Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta,
terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi
kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang
semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”.
Karya Anak Bangsa
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang
dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II, diajukan kepada Presiden Soekarno.
Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi
untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda
dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat
mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang
negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga
tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut
kepada Kabinet RIS melalui Moh. Hatta sebagai perdana menteri.
A.G. Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar
Pancasila terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI, menyebutkan, rancangan
lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam
Sidang Kabinet RIS.
Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila
masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya
kebangsaan anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian
dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II, menteri negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama
kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta
pada 15 Februari 1950.
Bentuk Final Lambang Negara
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan.
Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul”. Bentuk
cakar kaki yang mencengkeram pita, dari yang semula menghadap ke belakang menjadi
menghadap ke depan, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara
yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian
memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan
tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II,
yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan
penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala
ukuran dan tata warna gambar lambang negara, yang lukisan otentiknya diserahkan
kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta, pada 18 Juli 1974.
Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP
No. 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No. 66 Tahun 1951.
Sedangkan lambang negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar
lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950
masih tetap disimpan oleh Keraton Kadriyah Pontianak.
Salah satu keistimewaan Garuda Pancasila terletak pada
warna keemasannya, yang melambangkan cita-cita para perintis kemerdekaan untuk
membangun masyarakat adil dan makmur. Di negara lain, yang memakai sejenis lambang
garuda atau elang, biasanya berwarna hitam putih, sesuai warna burung tersebut
di alam bebas.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan
dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Jasa Sultan Hamid II lainnya yang terlupakan adalah
peranannya dalam forum KMB, yang tidaklah semata-mata memperjuangkan BFO dan
federalisme. Kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh
wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat
tidak terlepas dari keberhasilannya membujuk Ratu Yuliana, selaku ratu Belanda.
Ini bukti kelihaian diplomasi dan kedekatan Sultan Hamid II, yang pernah
menjadi ajudan atau pengawal Ratu Yuliana.
Penilaian Kalangan Akademisi
Turiman, S.H. M.Hum., dosen Fakultas Hukum Universitas
Tanjungpura Pontianak, yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai
tesis demi meraih gelar magister hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan,
hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah
perancang lambang negara.
“Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data.
Dari tahun 1998 sampai 1999,” katanya.
Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung
Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI, dan tidak ketinggalan
Keluarga Istana Kadariyah Pontianak, adalah tempat-tempat yang paling sering
disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberinya
judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI – Suatu Analisis Yuridis Normatif
tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan.
Di hadapan dewan penguji, Prof. Dr. M. Dimyati Hartono, S.H.
dan Prof. Dr. H. Azhary, S.H., ia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada
hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan, mulai dari
sketsa awal hingga sketsa akhir, Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan
Hamid II,” katanya.
Hal yang sama juga pernah disuarakan Sultan Syarif Abubakar
Alkadrie, pemegang tampuk kekuasaan Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak, yang
menjadi ahli waris Sultan Hamid Alkadrie II. Menurutnya, negara pantas memberikan
penghargaan terbaik kepada almarhum Sultan Hamid Alkadrie II atas jasanya
menciptakan lambang negara Burung Garuda. Penghargaan yang tepat adalah
pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sultan Hamid Alkadrie II.
Untuk mengembalikan fakta sejarah yang sebenar-benarnya
mengenai pencipta lambang negara Burung Garuda, pihak ahli waris dan
pemerintah Kalimantan Barat serta Universitas Tanjungpura pernah
menyelenggarakan seminar nasional di Pontianak. Ketua DPR Akbar Tandjung juga
hadir dalam acara yang berlangsung pada 2 Juni 2000.
Saat itu, Akbar Tandjung, yang juga ketua umum Partai
Golongan Karya, juga mengusulkan agar nama baik Sultan Hamid Alkadrie II
dipulihkan dan diakui sebagai pencipta lambang negara. Sayangnya, usulan itu
tak ada tindak lanjutnya hingga sekarang.
(Dikutip oleh Tim Sarkub dari Majalah Alkisah)
http://www.sarkub.com/2013/sejarah-penciptaan-lambang-garuda-pancasila-yang-terlupakan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar