"ISYARAT AIR DARI ALLAH SWT"
Air yang tak diketahui asal muasal sumbernya itu tak lain
merupakan kehendak Allah SWT untuk mensyiarkan dan mengkhabarkan kepada
khalayak luas perihal keberadaan salah seorang kekasih-Nya di tempat itu.
HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL HABSYI, CIKINI, JAKARTA
Tak sulit untuk mencari tahu ihwal HABIB ALI BIN ABDURRAHMAN
AL HABSYI atau HABIB ALI kwitang. Nama besarnya termasyhur, sosoknya sangat
dihormati, sejarah hidupnya tercatat diberbagai tulisan, makamnya terus
didatangi peziarah dari seluruh pelosok, foto-fotonya pun terpampang di rumah -
rumah para pecintanya. Masyarakat amat mengenal sosok Habib Ali lewat sepak
terjang dakwahnya yang memunculkan pengaruh luas dimasanya,sementara keberkahan
dakwahnya itupun masih terasa kuat hingga sekarang.
Bila Nama Habib Ali Kwitang adalah nama yang amat familiar,
tidak demikian halnya dengan sosok ayah Habib Ali sendiri, yaitu Habib
Abdurrahman. Nama Habib Abdurrahman, atau lengkapnya Habib Abdurrahman bin
Abdullah Al Habsyi, belakangan ini memang sering disebut-sebut dalam
pemberitaan di berbagai media, baik cetak maupun elektronik, terkait dengan
berita adanya rencana pemindahan makamnya yang berada dibilangan Cikini,
Jakarta Pusat. Namun begitu, sejarah hidup Habib Abdurrahman tidak cukup banyak
diketahui. Selain karena data sejarah hidupnya memang dapat dikatakan minim,
ketokohan Habib Abdurrahman memang tidak termasyhur putranya sendiri.
Betapapun, bila mengingat sebuah pepatah yang
berbunyi"buah jatuh tak jauh dari pohonnya". tentunya sosok ayah
Habib Ali Kwitang ini adalah pribadi yang tak dapat dikesampingkan begitu saja.
Ditengah minimnya data, tulisan tentang Habib Abdurrahman bin Abdullah Al
Habsyi (selanjutnya disebut Habib Abdurrahman Cikini) ini memang tidak banyak
mengungkap sosok dan perjalanan hidupnya, tapi lebih mengetengahkan latar
belakang keluarganya.
GENERASI PERTAMA
Habib Abdurrahman Cikini lahir dari keluarga Al Habsyi pada
cabang keluarga Al Hadi bin Ahmad Shahib Syi'ib. Ia generasi pertama dari garis
keturunan keluarga yang terlahir di Nusantara atau generasi kedua yang telah
menetap di negeri ini. Nasab lengkapnya adalah Abdurrahman bin Abdullah bin
Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Al Hadi bin
Ahmad Shahib Syi'ib bin Muhammad Al Ashghar bin Alwi bin Abubakar Al Habsyi.
Sebuah sumber tulisan memang menyebutkan bahwa kakeknya yang
bernama Muhammad bin Husein adalah yang pertama kali datang dari Hadhramaut
menetap di Pontianak, dan kemudian menikah dengan seorang putri dari keluarga
kesultanan pontianak. Atau itu artinya, Habib Abdurrahman Cikini adalah
generasi kedua yang terlahir di Nusantara atau Generasi ketiga yang sudah
menetap disini. Tulisan lainnya bahkan ada yang menyebutkan bahwa kakeknya itu
ikut mendirikan kesultanan Hasyimiyah Pontianak bersama keluarga Al Qadri.
Berdasarkan penelusuran data-data yang dilakukan, tampaknya data - data yang
dilakukan, tampaknya terdapat distorsi informasi seputar hal itu.
Dalam catatan pada kitab rujukan nasab alawiyyin susunan
Habib Ali bin Ja'far Assegaf ditulsikan, berdasarkan keterangan Habib Ali
Kwitang yang mendapat informasi dari Habib Alwi (tinggal di Surabaya, mindhol
sepupu dua kali Habib Ali Kwitang)bin Abdul Qadir bin Ali bin Muhammad bin
Husein Al Habsyi, disebutkan, Habib Muhammad bin Husein wafat di Tarbeh,
Hadhramaut. Kitab Habib Ali bin Ja'far juga menuliskan dengan jelas bahwa Habib
Abdullah (Ayah Habib Abdurrahman Cikini)adalah seorang wulaiti,atau kelahiran
Hadhramut,tepatnya di tarbeh, berdasarkan berbagai keterangan diatas, jelaslah
Habib Abdurrahman Cikini adalah generasi pertama dari garis keturunan
keluarganya yang dilahirkan di Nusantara.
Sementara itu informasi yang menyebutkan bahwa Habib
Muhammad bin Husein ikut mendirikan Kesultanan Al Kadriyah Al Hasyimiyah di
Pontianak jelas tidak tepat, baik dari sisi sejarah berdirinya kesultanan
Pontianak sendiri maupun dari fakta historis bahwa Habib Muhammad wafat di
Tarbeh. Hingga kini pun tak didapat keterangan bahwa Habib Muhammad sempat
menginjakkan kaki di Nusantara.
HUBUNGAN DENGAN PONTIANAK
Dengan menganalisis masa hidup dan lokasi wafatnya
tokoh-tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang datang pertama kali ke
Nusantara adalah putra Habib Muhammad Al Habsyi, yaitu Habib Abdullah Al
Habsyi, Ayah Habib Abdurrahman cikini. Sedangkan berdasarkan tahun berkuasanya
para sultan pontianak yang kemudian disesuaikan dengan fakta tahun 1969 sebagai
tahun kelahiran Habib Ali Kwitang (yang disebutkan setidaknya terlahir setelah
10 tahun pernikahan orang tuanya), kemungkinan besar Habib Abdullah datang ke
Pontianak dimasa pemerintahan Sultan Syarif Utsman Al Qadri (berkuasa dari
tahun 1819 hingga 1855M).
Sultan Syarif Utsman Al Qadri adalah sultan Pontianak yang
ketiga. ia putra Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadri, pendiri kota dan
Kesultanan Pontianak,atau Sultan Pontianak yang pertama. Adapun Sultan Syarif
Qasim Al Qadri, Kakak Sultan Syarif Utsman Al Qadri.
Sedangkan adanya keterangan yang menyiratkan pertalian
hubungan pernikahan antara Habib Muhammad dan Keluarga Kesultanan Pontianak,
sebenarnya, bukan pada pribadi Habib Muhammad atau Habib Abdullah, melainkan
pada Saudara Habib Abdurrahman Cikini, Yaitu Habib Alwi, yang menikahi Syarifah
Zahra binti Pangeran Abdurrahman bin Pangeran Hamid (Dimakamkan di Masjid Rawa
Angke, Jakarta)bin Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadri, dan beroleh putra Ahmad
dan Ali.
Bukan hanya dengan kerabat Kesultanan Pontianak, dengan
kesultanan Kubu, Kalimantan Barat, pun hubungan kekerabatan terjalin, saat
Habib Alwi juga menikahi Syarifah Nur Putri Sultan Abdurrahman Alaydrus, Sultan
Kubu yang ketiga. Dari Pernikahannya ini, Habib Alwi mendapat putra Abdullah
dan Abdurrahman. Adapun anak keturunan Habib Alwi yang ada di Trengganu, lewat
putranya yang bernama Ahmad, adalah dari istrinya Syarifah Fathimah binti Ahmad
Alaydrus.
Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsyi tersebut bersama kelima
saudaranya (Umar, Husein, Shalih, Alwiyah, dan Nur) adalah Putra - Putri Habib
Abdullah dari Ibu yang berasal dari keturunan Bansir. Habib Alwi, yang kemudian
wafat di Makkah, hingga sekarang memiliki anak keturunan tersebar, diantaranya,
di Pontianak dan di Trengganu, Malaysia. Adapun Umar, Husein,Shalih,
keturunannya tak berlanjut.
Mengenai nama Bansir, yang berasal dari kata Ba Nashir, itu
adalah nama sebuah fam dari satu keluarga masyayikh Hadhramaut yang kemudian
hijrah ke Pontianak. karena sudah membaur sedemikan lama, nama Bansir akhirnya
menjadi nama kampung disana, sehingga bernama Kampung Bansir. Anggota keluarga
Bansir yang pertama kali memasuki kampung itu adalah Syaikh Umar bin Ahmad
(w.Senin, 19 Jumadil Akhirah 1227 H/Oktober 1773M, dan yang kemudian dikenal
sebagai tokoh yang membuka Kampung Bansir tersebut adalah Putranya, Syaikh
Ahmad bin Umar Bansir. Habib Abdullah sendiri kemudian menikahi putri syaikh
ahmad yang bernama Aisyah. Dari Syaikhah Aisyah inilah keenam Saudara Habib
Abdurrahman Cikini (dari lain ibu) dilahirkan.
BUKAN "MBAH ALI KWITANG"
Selain pernah menetap di Pontianak, Habib Abdullah, yang
semasa hidupnya memiliki aktivitas perdagangan antar pulau, juga pernah menetap
disemarang. Tak diketahui dengan pasti di negeri mana di Nusantara ini ia
menetap terlebih dahulu, apakah di Pontianak ataukah di Semarang. Atau, boleh
jadi pula di Negeri lainnya, karena tak ada keterangan yang memastikan hal
tersebut. Namun dari keterangan yang disebutkan Buku Sumur Yang Tak Pernah
Kering bahwa ia menikah pertama kali disemarang, mungkin saja ia tinggal
pertama kali di kota itu. Sebuah Naskah juga menyebutkan, Ibu Habib Abdurrahma
Cikini adalah seorang syarifah dari keluarga Assegaf di Semarang. Dan memang,
Habib Abdurrahman Cikini sendiri diketahui sebagai Putra kelahiran semarang.
Habib Ali bin Ja'far Assegaf kemudian menuliskan, Habib
Abdullah wafat di tengah lautan diantara Pontianak dan Sambas, dan diberi
tambahan keterangan dengan kata-kata qutila zhulman, atau terbunuh secara
zhalim, sementara pada catatan lainnya disebutkan. Ia Wafat di laut
Kayong(daerah Sukadana, Kalimantan Barat) pada 1249 H, atau bertepatan dengan
tahun 1833 M.
Keterangan yang disebutkan terakhir tampaknya lebih
mendekati kebenaran, sebab wilayah Sukadana berseberangan langsung dengan kota
Semarang di Pulau Jawa dan Kota Semarang merupakan kota kelahiran Habib
Abdurrahman Cikini. Hal ini juga selaras dengan keterangan pada Buku Sumur yang
Tak Pernah Kering bahwa Habib Abdullah wafat saat berlayar dari Pontianak ke
Semarang. Pada Catatan itu juga disebutkan, ia wafat saat berperang dengan
Lanun, sebutan orang Pontianak terhadap para perompak laut. Keterangan ini juga
dapat menjadi penjelasan atas kata kata qutila zhulman yang disebutkan pada
kitab Habib Ali bin Ja'far.
Satu hal yang jelas keliru dari penyebutan sosok Habib
Abdurrahman Cikini adalah penyebutan namanya di banyak media saat ini yang
menyebutkan dengan nama "MBAH ALI KWITANG". Kekeliruan dalam
rangkaian kata pada sebutan nama itu jelas amat fatal dan amat mengaburkan
identitas dirinya.Istilah "MBAH" tidak dikenal dalam kata sapaan
masyarakat Jakarta, Nama "ALI" bukan nama dirinya, melainkan nama
putranya, dan makam Habib Abdurrahman terletak di CIkini, bukan di
"KWITANG".
Entah dari mana asal muasal penyebutan yang salah kaprah
itu. Tampaknya, ketika satu pihak menyebutkannya dengan sebutan itu, pihak lain
pun ikut ikutan menyebutkannya demikian. Maka kemudian jadilah sebutan itu
sebagai sebuah kekeliruan berantai yang terus berlanjut dan seakan lebih
populer dari identitas nama Habib Abdurrahman CIkini yang sebenarnya. Pihak
keluarga, penduduk sekitar,dan seluruh peziarah yang pernah menziarahi sedari
dulu pun tak pernah mendengar Habib Abdurrahman Cikini disebut dengan sebutan
seperti itu.
BERSAMA HABIB SYECH DAN RADEN SALEH
Diantara jejak - jejak sejarah kehidupan Habib Abdurrahman
Cikini yang didapat dari dari sejumlah sumber tertulis adalah bahwa ia sahabat
Habib Syech bin Ahmad Bafaqih,Botoputih, Surabaya. Hal tersebut diantaranya
dicatat dalam catatan kaki Ustadz Dhiya' Shihab pada Kitab Syams azh Zhahirah.
Begitu pula L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadhramout Et.Les Colonies
Arabes menyebutkan bahwa Habib Syech pernah menetap di Batavia selama kurang
lebih 10 tahun. Selama menetap di Batavia itulah tampaknya persahabatan
diantara keduanya terbangun erat.
Dikisahkan, setelah lama tak mendapatkan putra, istri Habib
Abdurrahman, seorang wanita asli Jakarta dari wilayah Jatinegara, Nyai Salmah,
suatu malam bermimpi. Dalam mimpinya tersebut, Nyai Salmah menggali sumur, dan
tiba- tiba dari dalam sumur itu keluarlah air yang melimpah tuah hingga
membanjiri area tanah sekelilingnya
Mimpi itu kemudian disampaikannya kepada suaminya. Sang
suami pun segera menemui Habib Syech bin Ahmad Bafaqih untuk menanyakan perihal
mimpi itu. Habib Syech kemudian menjelaskan, mimpi itu merupakan isyarat bahwa
pasangan Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah akan mendapatkan seorang putra yang
shalih ilmunya melimpah ruah keberkahannya. Tidak seberapa lama, Nyai Salmah
pun mengandung. Ahad 20 Jumadil Ula 1286 H atau bertepatan dengan 20 April 1869
M, Terlahirlah seorang putra yang ia beri nama "Ali".
Semua orang pun kemudian menyaksikan kebenaran ucapan Habib
Syech. Putra pasangan shalih dan shalihah itu, yaitu Habib Ali bin Abdurrahman
Al Habsyi, dikemudian hari menjadi seorang shalih dan alim yang banyak menebar
manfaat dan kemaslahatan bagi umat di masa hidupnya, bahkan setelah wafatnya.
Habib Abdurrahman Cikini juga mempunyai seorang putra
lainnya, Habib AbduL Qadir. Lewat putranya ini Habib Abdurrahman Cikini
menjalin pertalian kekeluargaan dengan Habib Utsman bin Yahya, melalui hubungan
pernikahan antara Habib Abdul Qadir dan salah seorang putri sang Mufti Betawi.
Dari kedua putranya itu, hanya dari Habib Ali Nasab
keturunannya berlanjut, karena Habib Abdul Qadir hanya memiliki tiga orang
putri dan tidak berputra. Tahun 1296H/ 1881 M, Habib Abdurrahman Cikini wafat.
Saat itu, Habib Ali masih amat belia, yaitu baru berusia 12 tahun. Sebelum
wafat, ia sempat berwasiat kepada istrinya agar putranya (Habib Ali)
disekolahkan ke Hadhramaut dan Makkah. Wasiat tersebut dilaksanakan oleh Nyai
Salmah dengan sepenuh hati dan sepenuh keyakinan akan adanya kebaikan di balik
itu semua.
Nyai Salmah, yang bukan tergolong orang berada, demi
mewujudkan harapan almarhum suaminya, kemudian menjual gelang, yang merupakan
satu-satunya perhiasan yang dimilikinya, untuk biaya perjalanan Habib Ali ke
Hadhramaut. Demikian sekilas persinggungan perjalanan hidup Habib Abdurrahman
Cikini dengan sahabatnya, Habib Syech bin Ahmad Bafaqih Surabaya, yang tahun
wafatnya hanya berselang dua tahun setelah wafatnya Habib Abdurrahman Cikini.
Makamnya, di Botoputih, Surabaya, hingga saat ini terus didatangi para peziarah
dari berbagai pelosok daerah.
Selain dengan Habib Syech bin Ahmad Bafaqih, Habib
Abdurrahman CIkini juga bersahabat dengan Raden Saleh, seorang pelukis termasyhur.
Kedekatannya dengan Raden Saleh bukan hal yang aneh. Disamping sama-sama kelahiran
semarang. Raden Saleh wafat satu tahun lebih dulu dari wafatnya Habib
Abdurrahman Cikini dan kemudian dimakamkan di daerah Bogor, Jawa Barat.
MENGAWAL AQIDAH UMAT
Dikemudian hari, sebagaimana di sebutkan dalam SUMUR YANG
TAK PERNAH KERING,Habib Abdurrahman Cikini juga menjalin hubungan kekeluargaan
dengan Raden Saleh dengan menjadi iparnya. Namun dari pernikahannya dengan
salah satu saudara perempuan Raden Saleh ini. Habib Abdurrahman Cikini tak
beroleh keturunan.
Ditanah pekarangan rumah sahabatnya inilah, yang berada
didaerah cikini, Jasad Mulia Habib Abdurrahman dikebumikan. Meski kepemilikan
tanah tersebut telah pindah tangan beberapa kali, keberadaan Makamnya tetap
dilestarikan. Diatas makamnya tersebut bahkan kemudian didirikan sebuah
bangunan sederhana yang dimaksudkan sebagai qubah makamnya. Meski tak seramai
makam putranya sendiri, dari waktu ke waktu makamnya kerap diziarahi orang.
Sejarah memang tak meninggalkan catatan yang cukup memadai
untuk memaparkan lebih jauh ihwal sosok dan sejarah hidup Habib Abdurrahman
Cikini. Namun demikian, makamnya, yang sejak dulu terus diziarahi, kedekatannya
dengan orang seperti Habib Syech bin Ahmad Bafaqih Botoputih, Surabaya,
perhatiannya yang mendalam terhadapa masa depan putranya, yaitu Habib Ali,
terutama dalam hal bekal keilmuan,serta jalinan kekeluargaan yang ia miliki,
cukup menjadi indikasi bahwa ia sosok yang shalih yang memiliki perhatian
mendalam pada ilmu-ilmu agama dan memiliki kedudukan terpandang dimasanya.
Hingga beberapa waktu yang lalu, masyarakat dikejutkan oleh
berita diberbagai media perihal rencana pemindahan makam Habib Abdurrahman
Cikini. Tak ayal, pro dan kontrapun mencuat kepermukaan.Menyusul mencuatnya
berita rencana pemindahan makamnya, keluar pula dengan begitu derasnya air
jernih dari sekitar makamnya.
Masyarakat pun berduyun - duyun mendatangi makam tersebut.
tak sedikit diantara mereka yang mendatanginya untuk keperluan mengambil air
tersebut. Terlepas benar atau tidak, mereka yang meyakini bahwa air itu
memiliki khasiat yang istimewa terus berdatangan siang dan malam. Beberapa hari
setelah diturunkannya tulisan ini,kabarnya, berdasarkan pembicaraan bersama
pihak keluarga ahli waris Habib Abdurrahman Cikini, rencana pemindahan Makam
pun urung dilakukan.
Umat tentu bersuka cita mendengar kabar tersebut. Pemindahan
makam memang bukan hal yang mustahil dan bukan pula diharamkan secara mutlak,
namun demikian dibutuhkan beberapa persyaratan ketat yang harus
terpenuhi.Betapapun, demi kemaslahatan bersama, segala sesuatunya memang dapat
dibicarakan lewat jalan musyawarah demi tercapainya mufakat. Mengenai air yang
keluar dari sekitar makam Habib Abdurrahman Cikini, pengawalan atas aqidah umat
mutlak diperlukan, agar mereka tak keliru dalam memandang keberadaan air
tersebut, sementara pihak menilai, air yang tak dikethui asal muasal sumbernya
itu tak lain merupakan kehendak Allah SWT untuk mensyiarkan dan menkhabarkan
kepada khalayak luas perihal keberadaan seorang kekasihNya di tempat itu.
Dikutip dari : MAJALAH ALKISAH
Diposkan oleh Asto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar