Basrah, Iraq. Sudah beberapa lama tidak turun hujan. Hari
itu belum beranjak siang. Terik matahari mulai terasa. Angin musim kemarau
berhembus. Angin kering padang pasir menerpa wajah. Orang-orang mulai kesulitan
mendapati air. Demikian juga binatang peliharaan yang kelihatan kurus-kurus.
Hari itu penduduk Basrah sepakat untuk mengadakan shalat
Istisqa’. Untuk meminta hujan yang sudah sekian lama tertahan. Shalat itu akan
dihadiri para ulama Basrah dan tokoh masyarakatnya. Yang langsung akan dipimpin
oleh salah seorang ulama pilihan di antara mereka. Nampak di antara para ulama
yang sudah hadir Ulama Besar Malik bin Dinar, Atho’ As-Sulaimi, Tsabit
Al-Bunani, Yahya Al-Bakka, Muhammad bin Wasi’, Abu Muhammad As-Sikhtiyani,
Habib Abu Muhammad Al-Farisi, Hasan bin Abi Sinan, Utbah bin Al-Ghulam, dan
Sholeh Al-Murri.
Benar-benar sebuah sholat Istisqo’ yang istimewa. Dihadiri
orang-orang terbaiknya. Tentunya dengan harapan agar Allah menurunkan kembali
hujan yang ditahan karena dosa-dosa manusia.
Para penduduk nampak berduyun-duyun mendatangi lapangan yang
telah ditentukan. Para ulama pun sudah mulai nampak di lapangan itu.
Anak-anak kecil yang asyik belajar di tempat pengajian
Al-Qur’an mereka, juga nampak berlarian menuju lapangan. Demikian juga para
wanitanya. Besar, kecil, laki, perempuan, tua, muda, semuanya tidak ada yang
ketinggalan untuk mengikuti sholat. Dengan hanya satu harapan, agar hujan
kembali turun.
Sholat dimulai. Dua rokaat sudah. Selesai itu sang imam menyampaikan
khutbah dan doa panjangnya. Mengakui segala kelemahan dan kesalahan manusia
yang menyebabkan murka Allah. Dan mengharap kembali turunnya berkah hujan dari
langit. Karena masih ada orang tua dan binatang yang tidak bersalah ikut
menanggung akibat dosa sebagian orang. Doa terus dipanjatkan.
Waktu terus beranjak siang. Tidak ada tanda-tanda akan turun
hujan. Mendung tak kunjung datang. Langit masih terlihat cerah. Matahari
semakin terasa terik. Sholat Istisqa’ selesai. Semua penduduk pulang ke rumah masing-masing.
Tinggallah para ulama yang masing-masing bertanya dalam hati mengapa hujan tak
kunjung datang. Padahal telah berkumpul orang-orang baik dan pilihan di
masyarakat Basrah.
Akhirnya diputuskan untuk menentukan hari lain. Mengulang
sholat Istisqa’ berharap untuk kali ke dua ini, Allah mengabulkan doa mereka.
Sholat kedua ditentukan. Suasana sholat ketika itu tidak jauh berbeda dengan
sholat sebelumnya. Dan kali ini pun belum ada tanda-tanda dikabulkannya doa.
Langit masih sangat cerah dengan terik matahari tengah hari. Tanda tanya di
hati para ulamanya semakin besar.
Sholat ketiga pun segera menyusul. Semoga yang ketiga inilah
yang didengar, begitu harapan mereka. Persis seperti yang pertama dan kedua,
sholat yang ketiga pun mempunyai suasana yang sama. Dan ternyata hasilnya pun
sama. Hujan masih tertahan entah karena apa. Tanda tanya di hati para ulama
Basrah kian menggelayut di dalam hati mereka masing-masing. Tanpa jawaban.
Seluruh penduduk dan ulamanya pulang ke rumah dan tidak tahu kapan musim kering
itu berlalu.
Tersisa Malik bin Dinar dan Tsabit Al-Bunani di lapangan
terlihat berbincang serius. Perbincangan itu dilanjutkan di masjid yang tidak
jauh dari tempat itu. Hingga malam datang menjelang. Masjid sudah sepi, tidak
ada lagi yang sholat. Karena sudah malam larut.
Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh seorang dengan kulit
berwarna gelap, wajah yang sederhana, dengan betis tersingkap yang terlihat
kecil, dengan perut buncit. Orang itu memakai sarung dari kulit domba, demikian
juga kain yang dipakainya untuk atas badannya. “Aku memperkirakan semua yang
dipakainya tidak melebihi dua dirham saja,” kata Malik bin Dinar. Yang
menunjukkan bahwa orang itu hanyalah orang miskin yang tidak memiliki banyak
harta.
Malik bin Dinar mengamati gerak-geriknya, ingin mengetahui
apa yang akan dilakukan oleh orang hitam itu di larut malam seperti ini. Orang
itu menuju tempat wudhu. Setelah selesai wudhu, seperti tanpa mempedulikan
Malik dan Tsabit yang mengamatinya dari tadi, orang itu menuju mihrab imam kemudian
sholat dua rokaat. Sholatnya tidak terlalu lama. Surat yang dibaca tidak
terlalu panjang. Ruku’ dan sujudnya sama pendeknya dengan lama berdirinya.
Selesai sholat, orang itu menengadah tangannya ke langit
sambil berdoa. Malik bin Dinar mendengar isi doa yang disampaikan dengan suara
yang tidak terlalu tinggi tapi terdengar. “Tuhanku, betapa banyak
hamba-hamba-Mu yang berkali-kali datang kepada-Mu memohon sesuatu yang
sebenarnya tidak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Mu. Apakah ini karena apa yang
ada pada-Mu sudah habis? Ataukah perbendaharaan kekuasaan-Mu telah hilang?
Tuhanku, aku bersumpah atas nama-Mu dengan kecintaan-Mu kepadaku agar Engkau
berkenan memberi kami hujan secepatnya.”
Setelah mendengar itu Malik bin Dinar berkata, “Belum lagi
dia menyelesaikan perkataannya, angin dingin pertanda mendung tebal menggelayut
di langit. Kemudian tidak lama, hujan turun dengan begitu derasnya. Aku dan
Tsabit mulai kedinginan.”
Malik dan Tsabit hanya bisa tercengang melihat orang hitam
itu. Mereka berdua menunggu hingga orang itu selesai dari munajatnya. Begitu
terlihat orang itu selesai, Malik menghampirinya dan berkata, “Wahai orang
hitam tidakkah kamu malu terhadap kata-katamu dalam doa tadi?” Orang tdai
bertanya, “Kata-kata yang mana?” “Kata-kata: dengan kecintaan-Mu kepadaku,”
kata Malik. “Apa yang membuatmu yakin bahwa Allah mencintaimu?” sambung Malik.
Orang itu menjawab, “Menyingkirlah dari urusan yang tidak kamu ketahui, wahai
orang yang sibuk dengan dirinya sendiri! Dimanakah posisiku ketika aku dapat mengkhususkan
diri kami untuk beribadah hanya kepada-Nya dan ma’rifat kepada-Nya. Mungkinkah
aku dapat memulai hal itu jika tanpa cinta-Nya kepadaku sesuai dengan kadar
yang dikehendaki dan cintaku kepada-Nya sesuai dengan kadar kecintaanku.”
Setelah berkata itu, dia pergi begitu saja dengan cepatnya.
Malik memohon, “Sebentar, semoga Allah merahmatimu. Aku perlu sesuatu.” Orang
itu menjawab, “Aku adalah seorang budak yang mempunyai kewajiban untuk mentaati
perintah tuanku.”
Akhirnya Malik dan Tsabit sepakat untuk mengikuti dari jauh.
Ternyata orang itu memasuki rumah seorang yang sangat kaya di Basrah yang
bernama Nakhos. Malam sudah sangat larut. Malik dan Tsabit merasakan sisa malam
begitu panjang, karena rasa penasarannya untuk segera mengetahui orang itu di
pagi harinya.
Pagi yang dinanti akhirnya tiba. Malik yang memang mengenal
nakhos itu segera menuju rumahnya untuk menanyakan budak hitam yang dijumpainya
semalam. “Apakah engkau punya budak yang bisa engkau jual kepadaku untuk
membantuku?” kata Malik bin Dinar beralasan untuk mengetahui budak hitam yang
dijumpainya semalam. Nakhos berkata, “Ya, saya mempunyai seratus budak.
Kesemuanya bisa dipilih.” Mulailah Nakhos mengeluarkan budak satu per satu
untuk dilihat Malik. Sudah hampir semuanya dikeluarkan, ternyata Malik tidak
melihat budak yang dilihatnya semalam. Sampai Nakhos menyatakan bahwa budaknya
sudah dikeluarkan semua. “Apakah masih ada yang lain?” tanya Malik. “Masih
tersisa satu lagi,” jawab Nakhos.
Saat itu waktu mendekati waktu dhuhur. Saat istirahat siang.
Malik berjalan ke belakang rumah menuju suatu kamar yang sudah terlihat reot.
Di dalam kamar itulah Malik melihat budak hitam yang dilihatnya semalam sedang
tertidur lelap. “Nakhos, dia yang saya mau, ya demi Allah dia,” kata Malik
semangat. Dengan penuh keheranan Nakhos berkata, “Wahai Abu Yahya, itu budak
sial. Malamnya habis untuk menangis dan siangnya habis untuk sholat dan puasa.”
“Justru untuk itulah aku mau membelinya,” kata Malik. Melihat kesungguhan
Malik, Nakhos memanggil budak tadi.
Dengan wajah kuyu, dengan rasa kantuk yang masih terlihat
berat budak itu keluar menemui majikannya. Nakhos berkata kepada Malik,
“Ambillah terserah berapa pun harganya agar aku cepat terlepas darinya.”
Malik mengulurkan dua puluh dinar sebagai pembayaran atas
harga budak itu. “Siapa namanya?” tanya Malik yang sampai detik itu masih belum
mengetahui namanya. “Maimun.”
Malik menggandeng tangan budak itu untuk diajak ke rumahnya.
Sambil berjalan, Maimun bertanya, “Tuanku, mengapa engkau membeliku padahal aku
tidak cocok untuk membantu?”
Malik berkata, “Saudaraku tercinta, kami membelimu agar kami
bisa membantumu.” “Kok bisa begitu?” tanya Maimun keheranan. “Bukankah kamu
yang semalam berdoa di masjid itu? Tanya Malik. “Jadi kalian sudah tahu saya?”
Maimun kembali bertanya. “Ya akulah yang memprotes doamu semalam,” kata Malik.
Budak itu meminta untuk diantar ke masjid. Setelah sampai ke
pintu masjid, dia membersihkan kakinya dan masuk. Langsung sholat dua rokaat.
Malik bin Dinar hanya bisa diam sambil mengamatinya dan ingin tahu apa yang
ingin dilakukannya. Selesai sholat, orang itu mengangkat tangannya berdoa
seperti yang dilakukannya kala malam itu. Kali ini dengan doa yang berbeda,
“Tuhanku, rahasia antara aku dan Engkau telah Engkau buka di hadapan makhluk-makhluk-Mu.
Engkau telah membeberkan semuanya. Maka bagaimana aku nyaman hidup di dunia ini
sekarang. Karena kini telah ada yang ketiga yang menghalangi antara aku dan
diri-Mu. Aku bersumpah, agar Engkau mencabut nyawaku sekarang juga.”
Tangan diturunkan, budak itu kemudian sujud. Malik
mendekatinya. Menunggu dia bangun dari sujudnya. Tetapi lama dinanti tak juga
bangun. Malik menggerakkan badan budak itu, dan ternyata budak itu sudah tidak
bernyawa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar