Gigih Beramar Ma’ruf Nahi Munkar
Usianya telah merambat senja, namun semangatnya dalam
menegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar tetap membara. Itulah sosok dai Habib Mustofa
bin Soleh Al-Hadad dari Pontianak yang juga dikenal sebagai Ketua Front Pembela
Islam (FPI) Kalimantan Barat
Pria berumur 58 tahun ini gigih membrantas segala bentuk
kemunkaran di mana tempat. Kerap ia berurusan dengan aparat keamanan dan pemerintah
di Pontianak karena kevokalannya menyuarakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bahkan ia
sempat ditahan oleh kepolisian karena sikapnya yang berlawanan dengan sikap
pemerintah. Tapi itu dulu, sekarang ia banyak berkecimpung dalam barisan Front
Pembela Islam (FPI) Kalimantan Barat dan juga kesibukannya banyak diisi dengan
berdakwah baik di Pesantren yang ia pimpin atau pun menghadiri majelis-majelis
taklim yang mengundangnya.
Habib Mustofa bin Soleh Al-Haddad, kelahiran Pontianak 17
Agustus 1949 ini adalah putra 3 dari 6 bersaudara dari Habib Soleh Al-Haddad.
Ia mengenyam pendidikan dasar sampai kelas III Sekolah Rakyat (SR). Kemudian ia
melanjutkan ke Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang (Jawa Timur) yang diasuh
oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih selama 10 tahun (1957-1967).
Selama di Darul Hadits, ia seangkatan dengan Habib Syekh bin
Ali Al-Jufri, Habib Abdul Qadir Al-Hadad (Condet, Jakarta Timur), Habib Mustofa
bin Abdul Qadir Alaydrus (Sabilal Muhtadin, Jakarta Selatan), Habib Ahmad
Habsyi (Palembang), Habib Abdullah Abdun (Malang), Habib Abdullah bin Alwi
Al-Kaff (Cirebon), Habib Ali bin Ahmad Al-Jufri (Pekalongan) dan lain-lain.
Habib Mustofa mengaku sangat terkesan selama menempuh
pendidikan di Pesantren yang banyak menghasilkan ahli hadits itu. ”Banyak ilmu
yang diajarkan kepada saya sehingga saya bisa seperti ini. Ini semua berkat
bimbingan beliau dan putranya Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih.”
Pesan dari Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih kepadanya
dan selalu dipegangnya sampai sekarang:”Belajarlah kamu hati-hati dan kamu
sebagai seorang ulama; jaga sikap tawadhu, jangan sombong dan takabur.
Gunakanlah ilmu ini untuk menegakan kalimat tauhid dan sampaikan ilmumu untuk
mendidik umat Nabi Muhammad SAW supaya menjadi umat yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.”
Setelah dari Darul Hadits pada tahun 1967, ia pulang ke
Pontianak dan belajar dengan abahnya sekitar 10 tahun sampai meninggal. Abah
Habib Mustafa, Habib Soleh bin Alwi bin Abubakar Al-Haddad adalah seorang ulama
yang wafat pada bulan Muharam 1403 H.
Pada tahun 1994, ia mendirikan pesantren pada tahun 1994.
“Sekarang ada 300 santri, yang menetap sekitar 100 santri dan 60 diantaranya
adalah anak-anak yatim piatu,” kata Bapak 19 putra (10 laki-laki, 9 putri) ini
kepada alKisah.
Latar belakang membuka pesantren yang banyak dihuni oleh
anak-anak yatim piatu, ”Karena kita ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW.
Karena Rasulullah merangkul pada anak-anak yatim, dan kita perlu membina
anak-anak yatim ini,” kata ketua Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Barat ini
lebih lanjut.
Menurutnya, selama mengasuh Pesantren, tantangan dan
hambatan nyaris sangat sedikit, ”Biasa santri-santri ada yang nakal dan ada
yang tidak. Cuma itu lainnya tidak ada,” katanya. Lebih lajut, Habib Mustofa menuturkan
kalau perjuangan dilandasi dengan semangat keikhlasan akan banyak ditolong oleh
Allah SWT. ”Dengan semata-mata berjuang untuk menolong umat Rasulullah SAW
supaya bertaqwa kepada Allah. Kami Alhamdulillah tidak kekurangan makanan dan
minuman. Banyak donatur yang, mengantarkan kebutuhan santri ke Pesantren.”
Selain itu, di pesantrennya santri-santri mendapat perlakuan
yang sama sebagaimana anak-anaknya. “Kami menganggap seluruh santri yang ada di
Pesanteen ini seperti anak sendiri. Santri dan anak kita tidak ada perbedaan.
Sama seperti anak kita. Kita selalu berdoa kepada Allah, supaya santri-santri
ini bisa diberikan ilmu yang bermanfaat dijadikan ulama yang warasatul anbiya
(Pewaris para Nabi) supaya kalau kita mati merekalah yang bisa meneruskan pondok
pesantren ini. Hanya itu niat kami.”
Selain itu, di pesantren Riyadhul Jannah Pontianak,
santri-santri diwajibkan menggunakan bahasa arab sebagai bahasa percakapan
bersehari-hari.”Kalau mereka sudah betul-betul fasih berbahasa Arab dan ilmu nahwunya,
baru mereka diperbolehkan memperdala bahasa asing lainnya, seperti bahasa
Inggris. Sebab kalau kita tak tahu ilmu Nahwu, tidak boleh kita mengartikan
Al-Qur’an.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar