Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Hasani lahir pada Hari Kamis,
13 Shafar 1150 H. di Ain Madhi atau disebut juga dengan Madhawi, di Sahara
Timur Maroko. Dari keluarga besar/Kabilah Tijan. Kabilah ini banyak melahirkan ulama-ulama
dan wali-wali yang shaleh.
Dari garis ayah adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin
Ahmad bin Muhammad Salim bin Al ‘id bin Salim bin Ahmad Al-‘Alwani bin Ahmad
bin Ali bin Abdulloh bin Al-Abbas bin Abdul Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Ali
Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad An-Nafsiz Zakiyah bin Abdulloh bin Hasan
Al-Mutsanna bin Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Tholib dan Sayyidah
Fatimatuzzahra binti Rasulullah Muhammad SAW.
Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu
Abdillah Muhammad bin As-Sanusi At-Tijani Al-Madhawi.
Keabsahan silsilah ini berdasarkan beberapa keterangan garis
keturunannya secara turun temurun. Juga dinyatakan langsung oleh Rasululloh
SAW: “Engkau benar-benar anakku (Anta waladi haqqan). Nasabmu melalui Hasan bin
Ali adalah shahih.”
Kedua orang tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika
sunah, rahasia syari’at dan cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat
terjaga. Beliau pun tumbuh dalam kebesaran akhlak muhammadiyah. Pada umur 7
tahun telah hafal Alqur’an dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah
bimbingan gurunya, Sayid Muhammad bin Hamawi At-Tijani. Seorang guru yang alim
dan terkenal keshalehan serta kewaliannya. Al-Hamawi terkenal sebagai pendidik
anak-anak di Ain Madhi. Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi
bertemu Alloh SWT dan membaca Alqur’an dalam Qira’at Imam Warasy sehingga
khatam. Alloh SWT berfirman kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.”
Beliau meninggal pada tahun 1162 H.
Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu
yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Usul, Furu’ dan Adab. Orang tua Syeikh Ahmad
sangat mempercayakan pendidikan masa kecil Syeikh kepada Al-Hamawi. Syeikh
banyak mempelajari cabang ilmu dari Al-Hamawi. Dengan kecerdasannya Beliau
cepat menguasai beberapa ilmu dengan sempurna.
Di samping Al-Hamawi, Syeikh Ahmad menyelesaikan
Al-Mukhtasor karya Imam Kholil, Ar-Risalah karya Ibnu Rusyd dan Al-Muqaddimah
karya Imam al-Akhdhari dari gurunya yang lain, Sayid Al-Mabruk bin Bu Afiyah
At-Tijani.
Tahun 1166 H. kedua orang tuanya meninggal pada hari yang
bersamaan, karena penyakit tho-un/lepra yang mewabah. Yaitu ketika Syeikh Ahmad
berumur 16 tahun.
Dalam usia yang relatif muda, Syeikh telah menunjukkan
kelebihannya dan keluasan ilmunya. Dunia ilmu pendididikan terus dijalaninya.
Sejak kedua orang tuanya meninggal, Syeikh tetap aktif dalam membaca ilmu,
mengajar, menulis dan memberi fatwa.
Pada tahun 1171 Syeikh mulai memasuki dunia sufi. Dalam
salah satu fatwanya Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Dalam nash
syara’ hanya diterangkan kewajiban tiap orang untuk memenuhi beberapa hak Alloh
secara penuh, lahir dan batin. Tanpa adanya alasan apa pun. Tidak ada alasan
apa pun untuknya dari hawa nafsu dan kelemahannya. Dalam syara’ hanya mewajibkan
hal tersebut dan mengharamkan lainnya. Karena adanya siksa. Tidak ada kewajiban
mencari guru selain guru ta’lim yang mengajarkan tata cara perkara syara’ yang
dituntut untuk dilaksanakan seorang hamba. Baik berupa perintah yang harus
dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan. Tiap orang bodoh harus mencari
guru ini. Tidak ada keluasan atau alasan meninggalkannya. Ada pun guru-guru
lainnya setelah guru ta’lim tidak ada kewajiban mencarinya menurut syara’. Akan
tetapi wajib mencarinya dari sisi nadhar. Seperti halnya orang yang sakit dan
kehilangan kesehatannya. Apabila dia keluar untuk mencari kesembuhannya, maka
mencarinya adalah wajib. Kami katakan wajib mencari dokter yang ahli dalam
mendiagnosa penyakit, asalnya, obatnya, cara memperolehnya.
Jawaban Syeikh ini memberikan kejelasan dalam masalah
pencarian guru. Karena sebagian ulama telah mengatakan bahwa meninggalkan
pencarian terhadap guru tarbiyah dianggap maksiat.
Dari sini dapat diketahui bahwa masuknya Syeikh dalam dunia
sufi tidak dikarenakan mengikuti kebanyakan manusia yang dilakukan zaman
sekarang. Mereka memasuki sebuah jalan tujuan, tanpa adanya pertimbangan
berdasarkan pengetahuan tentang sesuatu yang sedang mereka masuki. Mereka
memasuki jalan tidak lebih karena anggapan sebagian orang yang menilainya
dengan keindahan luarnya belaka. Syeikh memasuki dunia sufi berdasarkan
pemikiran dan pengetahuan pada sesuatu yang dikehendakinya dan memantapkannya.
Sebagai bukti seorang murid (pencari kebenaran) yang shadiq. Murid yang
mengetahui keagungan Rububiyah dan hak-hak Ilahiyah. Mengetahui bagian yang ada
dalam dirinya, berupa kelemahan, kemalasan, menyukai kenikmatan, dan
meninggalkan amal shaleh. Di mana jika keadaan itu terus ada dalam dirinya akan
menyebabkannya tidak dapat memperoleh puncak tujuan dunia-akhirat. Itu pun
dilakukan setelah menguasai cabanng-cabang ilmu. Pengetahuannya membawa dirinya
untuk segera kembali dengan tekad, semangat dan kemantapan; mencari seorang
yang dapat membuka belenggu syahwatnya dan menunjukkannya kepada jalan untuk
sampai ke hadapan Robnya.Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Ini
adalah ciri murid shadiq (pencari kebenaran sejati). Adapun lainnya hanya murid
thalib atau pencari biasa. Terkadang dia dapat mendapatkan hasil. Terkadang
tidak mendapatkan apa-apa.”
Oleh karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa setiap orang
yang awalnya kokoh, maka akhirnya akan sempurna.
Menginjak usia 21 tahun Syeikh melakukan berbagai kunjungan
ke beberapa daerah di Fas. Melakukan banyak diskusi dengan beberapa ahli
kebaikan, agama, rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki.
Lawatan itu mengantarkannya ke Gunung Zabib dan bertemu
dengan seorang wali kasyaf yang memberikan isyarat agar kembali ke negeri atau
daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut memeberitahukan akhir kedudukan yang
akan dicapainya. Tanpa harus menetap di daerah lain. Kemudian Syeikh segera
kembali ke daerahya.
Orang yang paling banyak mewarnai corak kehidupan Syeikh
adalah Sayid Abdul Qadir bin Muhammad. Seorang kutub yang tinggal di ‘negeri
putih’ (Baladul Abyadh) Shahara Dzar. Daerah ini agaknya tidak jauh di Ain
Madhi. Karena di sela-sela pengabdiannya, Syeikh sering pulang ke rumahnya.
Syeikh menetap di Zawiyahnya 5 tahun untuk menuntut ilmu, mengajar dan beribadah.
Selanjutnya Syeikh tetap tinggal di Ain Madhi sesuai dengan petunjuk wali
kasyaf di Gunung Zabib.
Di antara beberapa guru yang ditemui Syeikh dalam perjalanan
ke Fas dan sekitarnya adalah wali kutub yang terkenal, Maulana Ahmad As-Shaqali
Al-Idrisiyah, salah seorang ternama dalam Thariqat Khalwatiyah di Fas. Dalam
pertemuannya ini As-shaqali tidak banyak melakukan pembahasan. Syeikh pun tidak
mengambil apa pun darinya.
Kemudian Syeikh bertemu dengan Sayid Muhammad bin Hasan
Al-Wanjali. Salah seorang wali kasyf di sekitar Gunung Zabib. Ketika bertemu,
sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad Attijani:
“Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-quthbul kabir
Maulana Abil Hasan.”
Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari
Thariqat Syadziliyah. Karena isyarat yang diberikan olehnya menunjukkan bahwa
Syeikh akan mencapai kedudukan Abil Hasan Asy-Syadzili. Menurut Al-Wanjali
perjalanan yang telah ditempuh oleh Syeikh dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke
Fas Al-Idrisiyah dan beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang
yang dapat mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya
untuk mencapai keinginan tersebut. Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang
tersimpan dalam diri Syeikh dan memberitahukan kedudukan yang akan
diperolehnya. Meskipun tidak mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi
penyingkapan yang telah disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat
cita-cita Syeikh. Sehingga akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali
meninggal sekitar tahun 1185 H.
Wali Kutub lain yang ditemui Syeikh adalah Maulana At-Thayib
bin Muhammad bin Abdillah bin Ibrahim Al-Yamlahi. Sejarah hidup keluarganya
sangat terkenal dan banyak ditulis oleh para pengikutnya sebagai orang besar di
Fas. Legenda keluarganya secara beberapa generasi telah memperoleh kedudukan
kutub. Maulana At-Thayib mewarisi kekhilafahan para pendahulunya dalam
memberikan petunjuk kepada manusia di jalan Alloh dan kesempurnaan makrifatnya.
Ia menjadi khalifah menggantikan saudaranya Maulana At-Tihami yang menggantikan
Sayid Muhammad yang menggantikan Maulana Abdulloh. Diceritakan bahwa Maulana
Abdulloh (w. th. 1089 H.), kakek At-Thayib adalah orang pertama yang menetap di
Wazin. Agaknya keluarga At-Thayib secara turun-temurun memegang Thariqat
Jazuliyah. Hal ini terbukti bahwa kakeknya telah berkhidmah kepadaAhmad bin Ali
Ash-Sharsori, salah seorang tokoh Thariqat Jazuliyah.Ciri pokok tarekat ini
adalah dengan memperbanyak shalawat. Ayah At-Thoyib, Sayid Muhammad yang juga
mencapai kedudukan kutub mengatakan: “Seseorang tidak akan memperoleh derajat
tertinggi, melainkan dengan banyak membaca shalawat kepada Nabi SAW.” Sayid
Muhammad meninggal pada Malam Jum’at, tanggal 29 Muharam 1120 H.
Dalam pertemuannya dengan Ath-Thayib Syeikh mengambil wirid
darinya. Bahkan dalam ijazahnya, At-Thayib telah memberikan izin kepada Syeikh
untuk memberikan talkin pada orang yang hendak mengambil wiridnya. Akan tetapi
Syeikh menolak hak talkin tersebut karena pada saat itu masih mempunyai
cita-cita sendiri dan belum berminat untuk memegang salah satu jenisnya. Di
sini Syeikh menunjukkan ketinggian cita-citanya berdasarkan asal fitrahnya. Di
samping itu Syeikh belum mengetahui akhir kedudukannya pada waktu tersebut.
At-Thayib adalah salah satu guru yang diakui oleh Syeikh pada awal perjalannya.
Beliau wafat pada Hari Ahad, Bulan Rabiuts Tsani, tahun 1181 H.
Selanjutnya, Syeikh bertemu dengan Sayid Abdulloh bin
Al-Arabi bin Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh Al-Andalusi di Fas. Thariqatnya
bercorak Isyrak (konsep cahaya). Pertemuan ini banyak memperbincangkan beberapa
masalah. Meskipun tidak mengambil sesuatu darinya, Al-Arabi memberikan doa yang
sangat berarti dalam perjalanan Syeikh selanjutnya. Al-Arabi mendoakan kebaikan
dunia dan akhirat dan pada akhir perjumpaannya berkata:
“Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan
menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu(menolongmu).”
Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H.
Syeikh juga pernah mengambil Thariqat Qadiriyahnya Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani di Fas dari seseorang yang mempunyai izin untuk
mentalkinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan.
Thariqat lainnya yang pernah diambil oleh Syeikh adalah
Thariqat Nashiriyah dari Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Nazani.
Tidak berapa lama thariqat ini pun ditinggalkan. KemudianThariqat Sayid
Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang kutub yang masyhur dengan Al-Ghamari
As-sijlimasi Ash-Shadiqi (w. th. 1165 H.) melalui orang yang telah mendapatkan
izin. Thariqat ini pun ditinggalkan.
Selanjutnya Syeikh mengambil ijazah dari Tokoh Malamatiyah,
Sayid Abul Abbas Ahmad Ath-Thawas di Tazah. Ath-Thawas mengajarkan salah satu
isim (nama ilahi) kepadanya dan berkata:
“Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga
Alloh memberikan futuh kepadamu. Sesungguhnya dirimu akan memperoleh kedudukan
yang agung.”
Perkataan At-Thawas agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh
Ahmad Tijani, sehingga ia mengulangi perkataannya:
“Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus kholwah dan
meyendiri. Maka Alloh akan memberikan futuh kepadamu atas keadaan tersebut.”
Perkataan At-Thawas yang kedua ini tidak banyak dikutip.
Justru perkataan pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedualah
yang menunjukkan pokok dasar pemikiran Syeikh At-Tijani yang kemudian menjadi
ciri utama Thariqatnya. Di samping itu, Ath-Thawas juga memberikan isyarat dari
kedudukan yang akan diperoleh Syeikh. Beliau melakukan dzikir tersebut tidak
lama, kemudian meninggalkannya. At-Thawas meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula
1204 H di Tazah.
Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui
beberapa aliran Thariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian tidak
diteruskan. Karena adanya Inayah Robbaniyah untuk menolaknya dan tidak
mengambilnya. Kecuali dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai kekhasan
seorang yang mempunyai cita-cita tinggi.
Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah
melakukan lawatannya ke Fas, Syeikh menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin
Muhammad di Shahara Dzar, tidak jauh dari Ain Madhi. Sebagaimana petunjuk yang
diperoleh sebelumnya. Bahwa futuhnya akan diperoleh di sana.
Syeikh memasuki Tunisia pada tahun 1180 H. Di daerah Azwawi,
Al-Jazair Syeikh menemui seorang guru besar yang arif, Sayid Abu Abdillah
Muhammad bin Abdurrohman Al-Azhari. Syeikh mengambil Thariqat Khalwatiyah
darinya. Al-Azhari meninggal pada permulaan Muharam tahun 1180 H.
Selanjutnya Syeikh menuju ke Tilmisan pada tahun 1181 dan
menetap di sana. Syeikh mengabdikan dirinya dengan ibadah dan membaca ilmu.
Terlebih Ilmu Hadits dan Tafsir. Syeikh terus-menerus melakukan taqarrub dengan
bertawajjuh pada keagungan rububiyah dengan menyatakan ke-shidiq-an
ubudiyahnya. Memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan keluasan ilmunya.
Sehingga mulai terlihat kefutuhan yang membuka beberapa hijab yang menghalangai
antara seorang hamba dan Alqudus (Alloh). Syeikh menyatakaan hijab yang
tersingkap adalah 165.000 hijab. Maka batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid dan
Irfan.
Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh
pergi melaksanakan haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh berangkat
dari Tilmisan pada tahun 1186 H.
Dalam perjalanannya Syeikh berhenti di Tunisia dan menetap
di Susah, selama setahun. Syeikh berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang
wali yang terkenal, Sayid Abdus Shamad Ar-Rahawi, salah seorang dari 4 murid
wali kutub negeri tersebut. Wali kutub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh
siapa pun, kecuali seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya
dilakukan pada malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan
untuk menutupi kedudukannya. Syeikh meminta supaya Sayid Abdus Shamad berkenan
mempertemukan dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa
dengannya.
Thariqat Tijaniyah adalah Thariqat yang dikembangkan oleh
Syeikh Ahmad bin Muhammad. Mengambil dari nama kabilahnya. Thariqat ini juga
masyhur dengan nama Thariqat Al-Muhammadiyah. Thariqat ini diterima langsung
dari Rasululloh SAW dalam keadaan jaga. Bukan dalam keadaan tidur.
Memang sebelum mendapatkan ijazah langsung dari Rasululloh
SAW, Syeikh Ahmad pernah mengambil beberapa jalur Thariqat dari beberapa Syeikh
lain. Seperti Thariqat Khalwatiyah dari Abi Abdillah bin Abdur Rahman
Al-Azhari.
Pada usia 46 tahun (tahun 1196 H.), Beliau dianugerahi
berjumpa dengan Rasululloh SAW dalam keadaan Yaqdhah (terjaga). Dan sejak saat
itu Rasululloh SAW selalu mendampinginya dan tidak pernah hilang dari
pandangannya. Keadaan inilah yang disebut dengan Al-Fathul Akbar (terbukanya tirai
yang menghalangi antara seseorang dan Rasululloh). Rasululloh SAW selalu
membimbing Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani dan memerintahkan kepada Syeikh
untuk meninggalkan sandaran kepada guru-gurunya. Karena gurunya sekarang adalah
Rasululloh SAW secara langsung. Sehingga Beliau selalu berkata dengan
menyandarkannya kepada Rasululloh SAW.
Ketika itu, Rasululloh SAW mentalkin (mengajarkan)
dzikir/wirid berupa Istighfar dan Shalawat. Masing-masing dibaca 100 kali.
Pengajaran dzikir ini disempurnakan oleh Rasululloh SAW pada tahun 1200 H.
dengan tambahan Hailalah 100 kali. Dzikir inilah yang diperintahkan oleh
Rasululloh SAW untuk disebarluaskan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia
dan jin.
Ketika Syeikh Ahmad bin Muhammad berusia 50 tahun. Pada Bulan
Muharam, tahun 1214 H Syeikh Ahmad bin Muhammad telah sampai pada martabat
Al-Quthub AL-Kamil, Al-Quthbul Al-Jami’ dan Al-Quthbul Udzhma. Pengukuhan ini
dilakukan di Padang Arafah, Makah Al-Mukaramah.
Pada tahun yang sama, hari ke-18 Bulan Shafar, Beliau
dianugerahi sebagai Al-Khatmu Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang
tersembunyi). Hari inilah yang kemudian diperingati oleh Jamaah, Ikhwan, dan
para muhibbin Thariqat Tijaniyah sebagai Idul Khatmi. Beliau meninggal di Faz,
Maroko, tahun 1230 H.
Diposkan oleh ANDRI WIJAYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar