Disebelah utara Jakarta terdapat gugusan kepulauan yang
terdiri dari 108 pulau kecil, disebut Kepulauan Seribu. Satu diantaranya adalah
Pulau Panggang, sekitar 60 km disebelah utara kota Jakarta. Pulau seluas 0,9 hektare
itu bisa dicapai dalam waktu kurang lebih tiga jam dengan perahu motor dari
pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.
Disanalah Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid, yang juga
dikenal sebagai Wali keramat Pulua Panggang. Ia adalah ulama dan muballigh asal
Hadramaut yang pertama kali menyebarkan Islam di Pulang Panggang dan
sekitarnya. Pada abad ke-18 ia bertandang ke Jawa untuk berda’wah bersama
dengan empat kawannya :
1. Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-athas, Kramat Empang
Bogor.
2. Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Bondowoso,
Surabaya.
3. Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Ampel, Surabaya.
4. Al-Habib Salim Al-Athas, Malaysia.
Al-Maghfurlah Habib Ali ke Batavia, sementara keempat
kawannya masing-masing menyebar ke kota-kota dan negeri diatas. Al-Maghfurlah
berda’wah dari Pulau Seribu sampai dengan Wilayah Pulau Sumatera yaitu
Palembang.
Di Batavia , Almaghfurlah Habib Ali bermukim di Kebon Jeruk
dan menikah dengan Syarifah setempat, Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin
Ja’far Al-Habsyi. Dari Perkawinannya itu dikaruniai seorang putera bernama
Hasyim bin Ali Aidid.
Suata hari Almaghfurlah mendengar kabar, disebelah utara
Jakarta ada sebuah pulau yang rawan perampokan dan jauh dari da’wah Islam,
yaitu Pulau Panggang. Beberapa waktu kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi
pulau tersebut. Ketika Al-Maghfurlah sampai di Pasar Ikan hendak menyeberang
ternyata tidak ada perahu. Maka ia pun bertafakur dan berdo’a kepada Allah SWT,
tak lama kemudian muncullah kurang lebih seribu ekor ikan lumba-lumba
menghampirinya. Ia lalu menggelar sajadah di atas punggung lumba-lumba
tersebut, kemudian ikan lumba-lumba mengiring beliau menuju Pulang Panggang.
Demikianlah salah satu karomah Almaghfurlah Habib Ali, menurut cerita dari
Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-athas kepada salah satu muridnya Al-Habib Alwi
bin Muhammad bin Thahir Alhaddad bahwa setiap Habib Ali hendak berda’wah beliau
berdiri ditepi pantai Pasar Ikan dengan mengangkat tangan sambil bermunajat
kepada Allah SWT, maka datang ikan lumba-lumba kurang lebih seribu ekor
mengiring beliau disamping kanan, kiri, depan, belakang beliau dan mengantar
sampai ketempat tujuan untuk berda’wah.
Sosoknya sangat sederhana, cinta kebersamaan, mencintai
fakir miskin dan anak yatim. Bisa dimaklumi jika da’wahnya mudah diterima oleh
warga Pulau Panggang dan sekitarnya. Ia mengajar dan berda’wah sampai kepelosok
pulau. Bahkan sampai ke Palembang, Singapura dan Malaka.
Karomah lainnya, suatu malam, usai berda’wah di Keramat Luar
Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, ia pulang ke Pulau Panggang. Di tengah
laut, perahunya dihadang gerombolan perompak. Tapi, dengan tenang Almaghfurlah
Habib Ali melemparkan sepotong kayu kecil ke tengah laut. Ajaib, kayu itu
berubah menjadi karang, dan perahu-perahu perompak itu tersangkut di karang.
Maka, berkat pertolongan Allah SWT itu, Almaghfurlah Habib Ali dan rombongan
selamat sampai di rumahnya di Pulau Panggang.
Suatu hari, warga Pulau Panggang diangkut ke Batavia dengan
sebuah kapal Belanda, konon untuk dieksekusi. Beberapa perahu kecil berisi
penduduk ditarik dengan rantai besi ke arah kapal Belanda yang membuang sauh
jauh dari pantai. Mendengar kabar itu, Almaghfurlah Habib Ali menangis, lantas
berdo’a agar seluruh penduduk Pulau Panggang diselamatkan . Do’anya dikabulkan oleh
Allah SWT. Rantai besi yang digunakan untuk menarik perahu berisi penduduk itu
tiba-tiba putus, sehingga Belanda urung membawa penduduk ke Batavia.
Suatu malam, ia mendapat isyarat sebentar lagi ia akan
wafat. Ketika itu sebenarnya ia ingin ke Palembang, namun dibatalkan. Dan
kepada santrinya ia menyatakan, “ saya tidak jadi ke Palembang.” Benar apa yang
ia katakan, keesokan harinya, 20 Zulkaidah 1312 H./1892 M. ia wafat, dan
dimakamkan di sebuah kawasan di ujung timur Pulau Panggang.
Sesungguhnya, Jenazah almarhum akan dibawa ke Batavia untuk
diketemukan Istri dan anaknya serta dimakamkan disana. Namun, ketika jenazah
sudah berada di atas perahu yang sudah berlayar beberapa saat, tiba-tiba tiang
layar perahu patah dan perahu terbawa arus kembali ke Pulau Panggang. Hal ini
terjadi berturut-turut sampai tiga kali. Akhirnya, penduduk kampung memaknai
peristiwa itu sebagai kehendak almarhum di makamkan di Pulau tersebut. Keesokan
harinya setelah Almaghfurlah Habib Ali dimakamkan, beberapa orang dari penduduk
Pulau Panggang memberi khabar kepada istrinya Syarifah Zahroh binti Syarif
Muchsin bin Ja’far Al-Habsyi, istrinya menjawab “ Yah, saya sudah tahu, Habib
Ali tadi telah datang memberi kabar kepada saya tentang meninggalnya dia dan
dimakamkan di Pulau Panggang “.
Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid adalah seorang ulama
yang langka, yang berani merintis da’wah di kawasan terpencil, dan berhasil.
Demikianlah sekilas dari riwayat Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid.
Diposkan oleh Majlis Arrahman
Assalamualikum wr.wb.saya dari pulau panggang mohon ijin untuk minta/ mengcopy (mendownload foto Habib Ali bin Ahmad bin zen Al-Aidid. Pulau panggang. Mudah-mudahan berguna buat saya dunia dan akhirat..wassalam (nachrawi)
BalasHapusAssalamualikum wr.wb.saya dari pulau panggang mohon ijin untuk minta/ mengcopy (mendownload foto Habib Ali bin Ahmad bin zen Al-Aidid. Pulau panggang. Mudah-mudahan berguna buat saya dunia dan akhirat..wassalam (nachrawi)
BalasHapusSungguh mulia wali allah semoga kami di kumpul kan bersama mu nanti di surga dri sang pengagum tiada batas, zainal arifin palembang
BalasHapus