Kamis, 31 Oktober 2013

Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuli al-Hasani [Penulis Dalail al-Khayrat]

Al - Quthb al- Kamil , Al - Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Bakr Ibn Suleiman Al - Jazuli Simlali al- Hassani al- Maghribi ( w. 869/1454 ) . Yang dimaksud dengan kakeknya , ia disebut segera Syaikh Muhammad bin Suleiman al- Jazuli . Dia berasal dari suku Berber dari Jazula yang menetap di daerah Sus Maroko antara Atlantik dan Pegunungan Atlas . Meskipun tanggal lahir Imam al - Jazouli ini belum diketahui , informasi yang cukup ada untuk memberikan garis besar dari asal-usulnya dan latar belakang . Nisba Nya ( Nama Attributional ) memberitahu kita dia datang dari suku Simlala , salah satu kelompok Berber Sanhaja paling penting dalam Jazula . Lingkungan politik bergolak Simlala pada abad kelima belas memaksa Syaikh untuk meninggalkan tanah airnya karena budaya kekerasan membuat beasiswa yang serius mustahil. Ternyata , yang sharif muda harus melakukan perjalanan sepanjang jalan ke Fez untuk mendapatkan pendidikan , karena kurangnya sumber daya intelektual Marrakech ( Maroko ) , tujuan biasa untuk siswa dari tengah dan selatan - Sahara Maroko , membuat studi di kota itu mungkin juga.
Ia belajar secara lokal dan kemudian melakukan perjalanan ke Madrasah AS- Saffareen di Fés , ibukota spiritual Maroko di mana kamarnya masih menunjukkan kepada pengunjung. Di Fes , Dia hafal empat volume Mudawwana Imam Malik dan bertemu ulama pada zamannya seperti Ahmad Zarruq , dan Muhammad bin ' Abdullah Amghar , yang menjadi Syaikh dalam tarekat atau jalan sufi . Setelah menetapkan perseteruan suku ia meninggalkan daerah dan menghabiskan empat puluh tahun ke depan di Makkah Mukarrama , Madina Munawwarah dan Yerusalem . Setelah itu , ia kembali ke Fez di mana ia menyelesaikan Dala'il al - Khayrat .

Dia mengambil jalan Shadiliya dari Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin as- Saghir Amghar , salah satu Ashraaf ( Keturunan Nabi ) Bani Desa Amghar . Dia menghabiskan tahun empat belas di khalwah ( pengasingan ) dan kemudian pergi ke Safi di mana dia mengumpulkan di sekelilingnya banyak pengikut . Gubernur Safi merasa berkewajiban untuk mengusir dia dan sebagai hasilnya , Jazuli dipanggil murka Allah di kota dan kemudian jatuh ke tangan Portugis selama empat puluh tahun Menurut tradisi , itu adalah gubernur Safi yang meracuni Jazuli dan menyebabkan kematiannya , sementara terlibat dalam doa , di 869 AH ( atau 870 atau 873 )
Ketika ia menjadi Syaikh Lengkap , ia menuju ke kota Safi mana dia mengumpulkan banyak murid di sekelilingnya . Kemudian , Sidi al- Jazuli pindah ke Afwiral , sebuah desa Sus di Maroko , di mana ia mendirikan Zawiya bahwa menjadi pusat spiritualitas menarik 12.665 murid -Nya . Tarekat Nya terutama didasarkan pada membuat doa pada Sayyidina Muhammad (damai dan berkah besertanya ) sebagai menunjukkan bukunya : ( Dalail al - Khayrat ) , yang diterbitkan di Fés setelah menghabiskan empat puluh tahun di Mekah , Madinah dan Yerusalem Mounawara . Dalail al- Khayrat atau " ad- Dalil " sebagai Maroko lebih suka menyebutnya , dianggap sebagai sumber eksklusif untuk membuat doa pada Sayyidina Muhammad (damai dan berkah besertanya) , serta bagian yang benar dan inovatif kerja yang pernah diterbitkan tentang masalah ini .

Dikatakan bahwa Sidi Muhammad Al - Jazuli sekali melanjutkan perjalanan , ketika besar membutuhkan air untuk mengambil wudhu , ia tiba di sebuah sumur tetapi tidak bisa mencapai air tanpa ember dan tali yang dia tidak miliki. Dia menjadi sangat khawatir . Seorang gadis muda melihat hal ini dan datang membantunya . Dia meludah ke dalam sumur dimana air naik ke puncak dengan sendirinya . Melihat keajaiban ini , ia meminta gadis itu dan bagaimana itu mungkin ? "Dia menjawab ' saya bisa melakukan hal ini melalui saya meminta berkat atas Nabi , berkat dan damai Allah besertanya si dia . " Dengan demikian, setelah melihat manfaat meminta berkat atas Nabi , berkat dan damai Allah besertanya , ia memutuskan untuk menulis Dalail al- Khayrat .
The Dala'il al-Khayrat, manual paling terkenal Blessings on Nabi (Allah memberkatinya dan memberinya damai) dalam sejarah Bahkan, kitab Dalail al-Khayrat disambut oleh umat timur dan barat. Banyak sarjana terkonsentrasi untuk menjelaskan beberapa arti dan manfaat seperti Sidi Suleiman al-Jamal Shafii, Sidi Hasan al-Adwi al-Misri, Sidi Abdelmajid Sharnubi yang menyebut bukunya (Manhaj A-Sa'adat), Sidi Muhammad al-Mahdi Ibn Ahmad al-Fasi yang menyebut bukunya (Matalia al-Masaraat Bijalaa Dalail Al Khayrat), dan Savant terkenal Allah Sidi Ahmad Zaruk, sedangkan diciple dari Syaikh Sidi al-Jazuli (semoga Allah meringankan makamnya).

Sidi Abu Abdullah Muhammad Al-Jazuli meninggal tahun 869 AH dan dimakamkan di dalam Zawiya di Afwiral. Tujuh puluh tujuh (77) tahun setelah kematiannya, tubuhnya digali untuk dihapus ke Marrakesh dan ditemukan tidak rusak. [Diadaptasi dari The Encyclopedia of Islam, 1957 Leiden]
Ia menjadi salah satu dari Tujuh Pria Marrakech selain Sidi Qadi Ayaad, Sidi al-Abbas Sabti, Sidi Joussouf Ben Ali, Sidi Abdul Aziz, Sidi Moul al-Ksour, dan Sidi al-Soheyli (semoga Allah senang dengan semua mereka).

---

اولئك كتب في قلوبهم الايمان وايدهم بروح منه ويدخلهم جنات تجري من تحتها الانهار خالدين فيها

Inilah saat yang hatinya Allah memiliki iman mendarah daging, dan telah membantu mereka dengan Roh dari-Nya, dan Dia akan mengakui mereka ke Kebun bawahnya sungai-sungai, tinggal di dalam mereka selamanya

http://seekerofthesacredknowledge.wordpress.com/2013/01/29/16th-rabi-al-awwal-muhammad-ibn-sulayman-al-jazuli-al-hasani-writer-of-dalail-al-khayrat/

KH Hasyim Asy’ari Pendiri NU Tebuireng Jombang

Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.

Riwayat Keluarga
KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.

Silsilah Nasab
Merunut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan lanjutan sebagai berikut:

Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
Abdul Halim (Pangeran Benawa)
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari (Jombang)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

Menurut catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut, silsilah dari Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu sebagai berikut:

Husain bin Ali
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far ash-Shadiq
Ali al-Uraidhi
Muhammad an-Naqib
Isa ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi ats-Tsani
Ali Khali’ Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Alwi Ammi al-Faqih
Abdul Malik (Ahmad Khan)
Abdullah (al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
Maulana Ishaq
dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)

Pendidikan :
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Silsilah Keilmuan

KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
KH Cholil Bangkalan
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
Syaikh Ibrahim Arab
Syaikh Said Yamani
Syaikh Rahmaullah
Syaikh Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas Al Maliki
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
Sayyid Husain Al Habsyi
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah al-Zawawi
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad

Penerus Beliau
(Murid) :

Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:

KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul Arifin
KH Wahid Hasyim (anaknya)
KH Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi (Kudus)
KH Dahlan (Kudus)
KH Shaleh (Tayu)

(Keturunan)
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu

Nyai Khodijah, istri pertama yang merupakan putri dari Kyai Ya’qub, Sidoarjo. Meninggal dunia sewaktu Kyai Hasyim Asy’ari menuntut ilmu di Mekkah
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.

Putra-putri dari Nyai Nafiqoh
(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf

Nyai Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat, yaitu putri dari Kyai Hasan, pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:

(1) Abdul Qodir
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub

Jasa dan Karya Beliau !
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional

Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Mendirikan Nahdlatul Ulama

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

 Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.

Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.

”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.

Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).

Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Mendirikan Pesantren Tebuireng

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.

Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun pesantren Tebuireng, Jombang, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.

Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Jasa Bagi Indonesia
(Resolusi Jihad)

Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia

Perjuangan dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.

Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.

Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kisah Teladan Beliau

Kesan Akhlak dan Kecerdasan:

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.

Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”

Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC

Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baii, murid tidak boleh membantahnya.

Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.

Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Cholil Bangkalan.

Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.

Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil.

“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH Cholil Bangkalan.

” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.

Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.

Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.

Demikianlah doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.

http://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/05/28/biografi-kh-hasyim-asyari-pendiri-nu-tebuireng-jombang/

Sayyidah Fathimah Azzahra Rha

Nama : Fathimah
Gelar : Az-Zahra
Julukan : Ummu al-Aimah, Sayyidatu Nisa’, al-‘Alamin, Ummu Abiha
Ayah : Muhammad Rasulullah saww
Ibu : Khadijah al-Kubra
Tempat/Tgl Lahir : Makkah, Hari Jum’at, 20 Jumadi al-Tsani (jamadil akhir)
Hari/Tgl Wafat : Selasa, 3 Jumadi al-Tsani Tahun 11 H
Jumlah Anak : 4 orang; 2 laki-laki dan 2 perempuan
Laki-laki : Hasan dan Husein
Perempuan : Zainab dan Ummu Kaltsum

Riwayat Hidup

    Di antara anak wanita Rasulullah s.a.w, Fathimah Az-Zahra , merupakan wanita paling utama kedudukannya. Kemuliannya itu diperoleh sejak menjelang kelahirannya, yang didampingi wanita suci sebagaimana yang diucapkan oleh Khadijah:
"Pada waktu kelahiran Fathimah , aku meminta bantuan wanita-wanita Quraish tetanggaku, untuk menolong. Namun mereka menolak mentah-mentah sambil mengatakan bahwa aku telah menghianati mereka dengan mendukung Muhammad. Sejenak aku bingung dan terkejut luar biasa ketika melihat empat orang tinggi besar yang tak kukenal, dengan lingkaran cahaya disekitar mereka mendekati aku. Ketika mereka mendapati aku dalam kecemasan salah seorang dari mereka menyapaku: ‘Wahai Khadijah! Aku adalah Sarah, ibunda Ishaq dan tiga orang yang menyapaku adalah Maryam, Ibunda Isa, Asiah, Putri Muzahim, dan Ummu Kultsum, Saudara perempuan Musa. Kami semua diperintah oleh Allah untuk mengajarkan ilmu keperawatan kami jika anda bersedia". Sambil mengatakan hal tersebut, mereka semua duduk di sekelilingku dan memberikan pelayanan kebidanan sampai putriku Fathimah lahir."
    Meningkat usia 5 tahun, beliau telah ditinggal pergi ibunya. Tidak secara langsung beliau mengantikan tempat ibunya dalm melayani, membantu dan membela Rasulullah s.a.w, sehingga beliau mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dan dalam usia yang masih kanak-kanak, beliau juga telah dihadapkan kepada berbagai macam uji coba. Beliau melihat dan meyaksikan perlakuan keji kaum kafir Quraish kepada ayahandanya, sehingga seringkali pipi beliau basah oleh linangan air mata kerana melihat penderitaan yang dialami ayahnya.
    Ketika Rasulullah pindah ke kota Madinah beliau ikut berhijrah bersama ayahnya. Selang beberapa tahun setelah hijrah tepat pada tanggal 1 dzulhijjah, hari jum’at, tahun 2 Hijrah, beliau menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw
Dari pernikahannya suci yang diberkati oleh Allah SWT, beliau dikaruniai dua orang putra; Hasan dan Husein serta dua orang putri, Zainab dan Ummi Kaltsum, mereka semua terkenal sebagai orang yang sholeh, baik dan pemurah hati.
    Fathimah bukan hanya seorang anak yang paling berbakti pada ayahnya, tapi sekaligus sebagai seorang istri yang setia mendampingi suaminya disegala keadaan serta sebagai pendidik terbaik telah berhasil mendidik anak-anaknya.
    Masa-masa indah bagi beliau adalah ketika hidup bersama Rasulullah s.a.w. Beliau mempunyai tempat agung disisi Rasulullah sehingga digambarkan di kitab Thabari Hal 40, Siti Aisah berkata: “Aku tidak melihat orang yang pembicaraannya mirip dengan Rasulullah s.a.w seperti Fathimah. Apabila datang kepada ayahanya, beliau berdiri, menciumnya, menyambut gembira dan mengiringnya lalu didudukkan di tempat duduk beliau. Apabila Rasulullah datang kepadanya, ia pun berdiri menyambut ayahandanya dan mencium tangan beliau s.a.w".
    Tidak heran, jika setelah kepergian baginda Rasulullah, beliau sangat sedih dan berduka cita, hatinya menangis dan menjerit sepanjang waktu. Namun perlu diketahui bahwa kesedihan dan tangisannya itu bukanlah semata-mata kehilangan Rasulullah s.a.w tapi juga beliau melihat kelakukan umat sesudahnya yang sudah banyak menyimpang dari ajaran ayahnya, dimana penyimpangan itu akan membawa kesengsaraan bagi kehidupan mereka.
    Sejarah mencatat bahwa Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s setelah kepergian Rasulullah s.a.w tidak penah terlihat senyum apalagi tertawa. Sejarah juga mencatat bahwa antara beliau dengan khalifah pertama dan kedua terjadi perselisihan tentang tanah Fadak dan tentang masalah lainnya. Menurut Sayyidah Fathimah a.s tanah itu adalah hadiah dari ayahnya untuk dirinya, namun khalifah berkata: "Bahwa nabi tidak meninggalkan sesuatau dari keluarganya, sedangkan warisan nabi berubah statusnya menjadi sedekah yang digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin".
    M.H. Shakir berpendapat: "Wafat Rasulullah s.a.w sangat mempengaruhinya, ia sangat sedih, berduka dan tangis hatinya memekik sepanjang masa. Sayang sekali, setelah wafat nabi, pemerintah mengambil alih tanah fadak dan menyerahkannya sebagai milik negara".
Kehidupan Fathimah az-Zahra a.s, wanita agung sepanjang masa adalah kehidupan yang diwarnai kesucian, kesederhanaan, pengabdian, perjuangan dan pengorbanan bukan kehidupan yang diwarnai kemewahan yang ramah dan lembut.
    Fathimah hanya hidup tidak lebih dari 75 hari setelah kepergian ayahnya. Pada tanggal 14 Jumadil Ula, tahun 11 Hijriyah wanita suci, wanita agung dan mulia sepanjang masa, menutup mata dalam usia yag relatif muda yaitu 18 tahun.
Namun sebelum wafatnya beliau mewasiatkan keinginan kepada Imam Ali Krw yang isinya:
1.      Wahai Ali, engkau sendirilah yang harus melaksanakan upacara pemakamanku.
2.      Mereka yang tidak membuat aku rela/ridha, tidak boleh menghadiri pemakamanku.
3.      Jenazahku harus dibawa ke tempat pemakaman pada malam hari.
    Fathimah Az-Zahra ," Putri bungsu Rasulullah sa.w, telah tiada. Tidak ada ungkapan yang mampu mengambarkan keagungan Fathimah Az-Zahra yang sebenarnya. 


Karomah Fathimah Rha

Abu Sai'd al-Khudri berkata: “Pada suatu hari Ali Krw berkata bahwa beliau Sayyidatina Fathimah Az Zahra berasa amat lapar. Beliau kemudian meminta Fatimah  menyediakan makanan. Fatimah  bersumpah bahwa tidak ada makanan yang tinggal untuk menghilangkan kelaparan Ali Krw. Imam Ali Krw bertanya mengapa Fatimah  tidak memberitahukan kepadanya bahwa di rumah mereka sudah tidak ada makanan lagi. Fatimah  menyatakan bahwa dia merasa malu untuk menyatakan perkara itu, dan dia juga tidak mau menuntut apa-apa dari Imam Ali Krw. Imam Ali Krw keluar dari rumah dengan rasa tawakal kepada Allah SWT. Beliau meminjam uang sebanyak satu dinar dengan hasrat untuk membeli makanan untuk penghuni rumahnya. Dalam perjalanan pulang, beliau bertemu Miqdad ibn Aswad sedang terbaring di atas jalan pasir yang panas terik oleh sinar matahari yang membakar. Miqdad kelihatan sedih dan muram. Lalu Imam Ali Krw bertanya kepadanya apa yang terjadi tetapi dia enggan menyatakan perkara yang berlaku kepada Imam Ali Krw. Tetapi akhirnya dia menyatakan juga rahasia itu dan berkata:

“Wahai Abul Hasan! Aku bersumpah bahwa ketika aku keluar rumah tadi, penghuni rumahku berada di dalam kelaparan yang amat sangat. Anak-anakku kelaparan dan aku tidak sanggup menonton keadaaan mereka menangis itu. Lalu aku meninggalkan mereka, dan berusaha mencari jalan untuk mengatasi masalah tersebut."

Air mata Ali Krw jatuh bercucuran dan mengenai janggutnya apabila mendengar kisah tersebut. Ali Krw berkata kepadanya:

" Aku bersumpah bahwa aku juga mengalami keadaan yang sama seperti engkau."

          Ali Krw lalu menyerahkan uang yang dibawanya kepada Miqdad. Ali Krw kemudian pergi ke masjid di mana pada ketika itu Nabi S.A.W sedang shalat. Ali Krw bershalat di tempat suci itu, dan selepas selesai menunaikan kewajibannya, beliau menemui Nabi S.A.W di pintu masjid. Rasulullah S.A.W bertanya Ali Krw tentang makanan apa yang akan dia siapkan untuk makam malam karena Nabi S.A.W hendak ikut makan malam di tempat putrinya..

          Ali Krw tunduk dan tidak berkata apa-apa. Beliau tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kelihatannya Rasulullah S.A.W tahu tentang kisah uang satu dinar itu. Telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad S.A.W bahwa hendaklah beliau S.A.W bersama Ali AS pada petang itu." Mengapa anda tidak berkata sesuatu..?," tanya Nabi Muhammad S.A.W. Ali Krw dengan menjawab:" Diriku di tanganmu."

          Nabi Muhammad S.A.W memegang tangan Ali Krw dan dua orang yang agung ini berjalan bersama-sama ke rumah Fatimah . Apabila sampai di sana, Fatimah baru selesai menunaikan kewajibannya (sholat), dan di atas tungku ada satu periuk masakan sedang di masak dan ketika ia sedang mendidih. Fatimah  kemudian keluar apabila mendengar bunyi tapak kaki ayahnya datang dan menyambut kedatangan mereka. Nabi S.A.W mengucapkan salam dengan lembut." Semoga Allah SWT memberi rahmat ke atas kamu berdua, dan semoga kamu dapat menyediakan kami hidangan makan malam!" sambung Rasulullah S.A.W.

          Fatimah mengambil periuk tersebut dan meletakkan di hadapan ayahnya S.A.W dan suaminya, Ali Krw, yang terkejut dan bertanya isterinya bau makanan yang lezat di dalam periuk itu. Fatimah berkata:" Apakah anda marah dengan memandangku dengan pandangan yang demikian! Apakah aku telah melakukan sesuatu yang salah menyebabkan aku layak menerima kemarahanmu!?"

          Ali Krw berkata:" Mengapa tidak..? Semalam engkau bersumpah bahwa engkau tidak mempunyai sedikit makanan pun untuk kita hidup selama beberapa hari! Apa artinya ini semua..?"

          Dengan memandang ke langit Fatimah menyambung:" Tuhanku yang berkuasa ke atas langit dan bumi akan menjadi saksi bahwa apa yang akan aku katakan ini adalah benar."

          Ali Krw menambah:" Wahai Fatimah! Sudikah engkau menyatakan kepada kami kisah sebenarnya. Sudikah engkau dengan jujur menyatakan kepada kami siapakah yang mengantarkan hidangan yang lezat ini yang menjadi makanan kita!"

          Rasulullah S.A.W dengan lembut meletakkan tangannya ke atas bahu Ali Krwdan berkata:" Wahai Ali! Semua sebenarnya ini adalah anugerah dari Allah SWT karena kemurahan yang kamu tunjukkan ketika memberikan uang dinar tersebut.

Fathimah az-Zahra Pemimpin Wanita di Surga

Fatimah al-Zahra adalah puteri Rasulullah SAW. Ibunya Khadijah adalah isteri Rasulullah S.A.W yang pertama dan amat dikasihinya. Tentang Khadijah, Rasulullah S.A.W pernah bersabda yang bermaksud: "Empat wanita yang terbaik ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiah binti Muzahim isteri kepda Firaun." [Muhibuddin al-Tabari, Dhakha'ir al-Uqba fi Manaqib Dhawi al-Qurba, hl.42; Al-Hakim alam al-Mustadrak, Juzuk 3, hlm.157].

          Fatimah mempunyai nama-nama timangan seperti Ummal Hasan, Ummal Husayn, Ummal Muhsin, Ummal A'immah dan Umma Abiha [Bihar al-Anwar' Juzuk 43, hlm.16]

          Rasulullah SAW menggelarkannya Fatimah sebagai "Ummu Abiha" bermaksud ibu kepada ayahnya. Ini kerana Fatimah AH sentiasa mengambil berat tentang ayahandanya yang dikasihi itu. Selain daripada itu gelaran-gelaran lain ialah Zahra, Batul, Siddiqah Kubra Mubarakah, Adhra, Tahirah, dan Sayyidah al-Nisa [Bihar al-Anwar, Juzuk 43, hlmn.16]

          Fatimah dilahirkan pada 20 Jamadil Akhir di Mekah yaitu pada Hari Juma'at, tahun kelima selepas kerasulan Nabi Muhammad S.A.W [Manaqib Ibn Shahrashub, (Najaf), Juzuk 3, hlm.132; al-Kulaini, al-Kafi; Misbah al-Kaf'ami; Syeikh al-Mufid, Iqbal al-Amal]. Tempat beliau dilahirkan ialah di rumah ayahanda dan ibundanya iaitu Rasulullah S.A.W dan Khadijah al-Kubra. Beliau AH wafat pada tahun ke-11 hijrah iaitu selepas enam bulan kewafatan ayahandanya Rasulullah S.A.W [al-Bukhari, Sahih, Juzuk 5, Hadith 546]

          Kelahiran Fatimah AH amat menggembirakan Rasulullah SAWA. Beliau S.A.W bersabda tentang Fatimah AH: " Dia adalah daripadaku dan aku mencium bau syurga dari kehadirannya."[Kasyf al-Qummah, Juzuk 2, hlm.24].

          Mengapa diberikan Nama Fatimah? Menurut Imam Ali al-Ridha  nama "Fatimah" diberikan oleh Rasulullah S.A.W Fatimah dan para pengikutnya terpelihara dari api neraka. Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata: " Rasulullah S.A.W bersabda kepada Ali Krw : Tahukah kamu nama mengapa nama Fatimah diberikan kepadanya? Ali menjawab: Mengapa dia diberikan nama itu? Dia (Rasulullah S.A.W) bersabda: Kerana dia dan shiahnya akan diperlihara dari api neraka."


Keperibadian Fathimah Az Zahra

Fatimah termasuk dalam Ahlul Bayt Rasulullah S.A.W sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat al-Tathir dalam surah al-Ahzab: 33. Dalam Surah Al-Ahzab:33 bermaksud:

"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan kalian daripada kekotoran (rijsa), wahai Ahlul Bayt dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya."
          Ayat di atas mengisahkan Sayyidina Hasan dan Husayn AS sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah S.A.W dengan beberapa orang sahabat menziarahi mereka. Rasulullah S.A.W mencadangkan kepada Ali AS bernazar kepada Allah SWT bahawa dia dan keluarganya akan berpuasa selama tiga hari apabila anak mereka sembuh dari penyakit tersebut. Ali, Fatimah, dan pembantu mereka, Fizzah bernazar kepada Allah SWT. Apabila Hasan dan Husayn AS sembuh, mereka pun berpuasa. Pada waktu berbuka datang seorang pengemis meminta makanan kepada mereka. Pada hari itu mereka hanya berbuka dengan air saja. Keesokan hari ini datang seorang anak yatim meminta makanan daripada mereka pada waktu berbuka dan sekali lagi mereka hanya berbuka dengan air saja. Pada hari ketiga, datang pula seorang tawanan perang meminta makanan. Selepas memberikan makanan, Ali Krw membawa anak-anaknya ke rumah Rasulullah S.A.W. Rasulullah S.A.W berasa sedih melihat keadaan cucunya itu. Ali Krw membawa Rasulullah S.A.W ke rumah mereka. Sampai di sana Rasulullah S.A.W. melihat Fatimah sedang berdoa dengan keadaan yang amat lemah. Rasulullah S.A.W berasa amat sedih. Turun malaikat Jibril berkata kepada beliau S.A.W," Wahai Muhammad ambillah dia (Fatimah). Allah memberikan tahniah pada Ahl Bayt kamu." Lalu Jibril membacakan ayat tersebut.[Al-Hakim al-Haskani, Shawahid al-Tanzil, jld.II, hlm.298; al-Alusi, Ruh al-Ma'ani, jld.XXIX, hlm.157; Fakhur al-Razi, Jild.XIII, hlm.395]


Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud:
" Fatimah adalah sebahagian daripadaku. Barang siapa yang membuat dia marah, akan membuat aku marah." [a-Bukhari, Jilid II, hlm.185]
Imam Ali al-Redha Krw berkata bahwa Rasulullah S.A.W bersabda 
" Hasan AS dan Husayn AS adalah makhluk yang terbaik di dunia selepasku dan selepas bapa mereka (Ali Krw) dan ibu mereka (Fatimah ) adalah wanita yang terbaik di kalangan semua wanita."[Bihar, Jilid 43, hlm. 19 dan 20]
Dari Imam Ali Krw dari Rasulullah S.A.W berkata kepada Fatimah bermaksud:
“Sesungguhnnya Allah marah kerana kemarahanmu dan redha kerana keredhaanmu." [Mustadrak al-sohihain, juzuk 3, hlm152]

Dari Aisyah berkata bahawa:
" Tidak pernah aku melihat seorang pun yang lebih benar dalam berhujah daripadanya melainkan ayahnya (Rasulullah S.A.W)."[Mustadrak al-Sohihain, Juzuk 3, hlm.160]

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadith dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah S.A.W bersabda:
".....Tidakkah engkau redha (wahai Fatimah) bahawa engkau adalah saidati-nisa fil-Jannah(pemimpin wanita di syurga) atau pemimpin wanita seluruh alam..." [Sahih Bukhari, Jld. IV, hadith 819]

Dalam hadith yang lain al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah sebuah hadith yang panjang dan di sini dinyatakan sebahagiannya:
"....Wahai Fatimah! Tidakkah engkau redha bahawa engkau adalah saidati-nisa il-mu'minin (pemimpin wanita mu'minin) atau saidanti-nisa-i hadzhihi il-ummah (pemimpin wanita umah ini)?"[Al-Bukhari, Jilid 8, hadith 301]

          Al-Bukhari meriwayatkan hadith dari Imam Ali Krw bahwa pada suatu ketika Fatimah  mengadu tentang kesusahannya mengisar tepung. Apabila beliau mendengar berita ada beberapa orang hamba dari rampasan perang telah dibawa kepada Rasulullah S.A.W, beliau lalu pergi (ke rumah Rasulullah S.A.W) untuk menemui baginda S.A.W bagi mendapatkan pembantu tersebut, tetapi pada ketika itu (Rasulullah S.A.W tidak ada di rumah) Aisyah tidak dapat mencari baginda S.A.W. Lalu Fatimah menceritakan hasratnya kepada Aisyah. Apabila Rasulullah S.A.W pulang, Aisyah menyatakan kepadanya perkara tersebut. Rasulullah S.A.W kemudian pergi ke rumah kami....Maukan kamu aku nyatakan suatu perkara yang lebih baik daripada apa yang kamu minta? (Iaitu) apabila kamu hendak masuk ke tempat tidurmu, maka ucapkanlah Allahu Akbar 34 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Subhan Allah 33 kali. Ini adalah lebih baik daripada yang kamu pohonkan."[ Al-Bukhari, Jld. VI, hadith 344]

Amru bin Dinar meriwayatkan dari Aisyah berkata:
" Tidak pernah aku melihat seseorang pun yang lebih benar daripada Fatimah salamullah 'alaiha selain daripada ayahnya."[Hilyatul-awliya, Juzuk 2, hlm. 41]

Ibnu Abbas meriwayatkan bahawa Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud:
"Pada malam aku diangkat ke langit (mi'raj), aku melihat di pintu syurga tertulis bahwa Tidak ada Tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasulullah, Allah mengasihiku, dan Hasan, dan Husayn sofwatullah (sari yang terbaik dari Allah) , Fatimah Khiratullah (sesuatu yang terbaik dari pilihan Allah), laknatullah ke atas mereka yang membenci mereka."[Tarikh al-Baghdadi, Juzuk 1, hlm. 259]

          Fatimah al-Zahra mempunyai sifat-sifat berikut seperti ayahnya dan suaminya serta anggota keluarganya :(1) menemukan jalan yang benar (ihtida') (2) mentaati prinsip-prinsip Islam (iqtida'), dan (3) berpegang teguh serta menyakini kewajiban'' nya (tamassuk)." [ Nasa'i dalam Khashais Alawiyyah]

Sikap Rasulullah terhadap Fathimah Rha

Rasulullah mengaitkan Fatimah dengan dirinya S.A.W. Justru Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud:
     
“Fatimah adalah daripadaku dan barang siapa yang membuat dia marah, akan membuat aku marah." [Al-Bukhari, Jilid V, hadith 111]

Imam Ali Krw suatu ketika bertanya kepada Rasulullah S.A.W:
" Wahai Rasulullah! Siapakah di kalangan keluargamu yang paling dekat denganmu? Fatimah binti Muhammad," jawab baginda S.A.W.
[Al-Tabari, Dhakair al-Uqba; Al-Tirmidzi, Sunan. hlm.549; Al-Mustadrak, Jilid 3, hlm.21 dan 154] 


Kezuhudan Fathimah as

Imam Hasan AS meriwayatkan," Aku belum pernah melihat seorang wanita yang lebih alim daripada ibuku. Ia selalu melakukan solat dengan begitu lama sehingga kakinya menjadi bengkak." Imam Hasan AS juga meriwayatkan:

“Aku melihat ibuku, Fatimah berdiri sholat pada malam Jumaat. Beliau meneruskan sholatnya dengan rukuk dan sujud sehingga subuh. Aku mendengar beliau berdoa untuk kaum mu'minin dan mu'minat dengan menyebut nama-nama mereka. Beliau berdoa untuk mereka semua tetapi beliau tidak berdoa untuk dirinya sendiri. "Ibu," Aku bertanya kepada beliau "Mengapa ibu tidak berdoa untuk diri sendiri sebagaimana ibu berdoa untuk orang lain..?" Beliau menjawab," Anakku, (berdoalah) untuk jiran-jiranmu diutamakan dan kemudian barulah dirimu sendiri."[Bihar al-Anwar, Jilid 43, hlm.81-82; Abu Muhammad Ordooni, Fatimah The Gracious, hlm.168-169;Sayyid Abdul Razak Kammoonah Husseini, Al-Nafahat al-Qudsiyyah fi al-Anwar al-Fatimiyyah, Juzuk 13, hlm.45]

Kehidupan Politik Sayyidah Fathimah as

Kehidupan Fatimah a.s. bukan hanya melakukan tugas sebagai suri rumah tangga dan beribadat saja tetapi juga meliputi soal-soal politik sejak dari zaman ayahandanya Rasulullah S.A.W di Mekah hingga selepas wafat ayahandanya S.A.W. Beliau dengan gigih menyokong keras perjuangan ayahandanya Rasulullah S.A.W dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip Islam yang telah dididik oleh ayahandanya Rasulullah S.A.W.
Pada tahun kesepuluh kerasulan, Khadijah ibu Fatimah meninggal dunia. Fatimah kehilangan ibundanya yang tercinta. Pada tahun yang sama, beliau kehilangan bapa saudara ayahnya Abu Thalib yang selalu melindungi Rasulullah S.A.W. Dengan kewafatan dua orang insan mulia ini, para musyirikin Quraish mulai berani menentang dan menyakiti Rasulullah S.A.W secara terbuka. Sehingga pada suatu saat mereka sanggup memutuskan untuk membunuh Rasulullah S.A.W. Justru, Rasulullah S.A.W membuat keputusan berhijrah ke Madinah. Malam itu Ali AS tidur di tempat tidur Rasulullah S.A.W demi untuk mengelirukan musuh-musuh Allah itu. Pada malam itu juga Fatimah menginap di rumah ayahandanya dan mengetahui semua kejadian tersebut. Fatimah bertahan pada malam itu dengan penuh perjuangan, kesabaran, dan keberanian segala kemungkinan yang akan berlaku kepada mereka.

Fatimah a.s. kemudian berhijrah ke Madinah dengan rombongan hijrah di ketuai oleh Ali Krw. Dalam perjalanan ke Madinah, beberapa orang kafir mencoba untuk menghalang mereka tetapi dengan keberanian dan tekad Ali Krw, maka mereka ketakutan dan membiarkan rombongan hijrah itu meninggalkan Mekah. Akhirnya setelah menempuh segala kesulitan, mereka pun sampai ke Madinah.

Fatimah  turut menjadi saksi Perang Badar dan Perang Uhud. Dalam Perang Uhud, dahi, dan gigi Nabi S.A.W luka parah. Dan yang lebih menyedihkan ialah ketika tersebarnya berita palsu bahwa Rasulullah S.A.W telah terbunuh. Fatimah  berangkat ke Uhud untuk menyaksikan medan pertempuran, dan juga melihat ayahandanya yang dikasihi Rasulullah S.A.W. Setelah perang berakhir, Fatimah menemui ayahandanya Rasulullah S.A.W, dan membersihkan wajah baginda dari luka-luka. Dalam peperangan ini juga, Fatimah menyaksikan bapa saudara ayahnya, Hamzah syahid di medan perang.




Joko Tingkir

Dalam tradisi Jawa Jaka/Joko Tingkir atau Mas Karèbèt atau ejaan China Peng King Kang, adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Pajang yang memerintah tahun 1549-1582 dengan nama Hadiwijaya.
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[2] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir
Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati raja Demak Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan Sadak Kinang. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara tua ayahnya / kakak mendiang ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.
Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati raja kembali.
Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Trenggana.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik kandung Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Hadiwijaya sebagai raja pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya
Hadiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.
Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Hadiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi raja usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.
Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Hadiwijaya raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.
Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Hadiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Hadiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
Hadiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak raja Demak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang Arya Pangiri sebagai penerus garis suksesi Sultan Demak dahulu.
Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi raja. Pangeran Benawa sang "putra mahkota" disingkirkan menjadi bupati Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang dengan nama tahta Ngawantipura
Berikut ini silsilah dari Garis Syaikh Jumadil Kubro yang saya petikan dari sumber sumber sukapura dan ditambah dengan keterangan dari r-tb nurfadhil azmatkhan

Rasulullah Muhammad S.A.W
1. Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
2. Al-Husain bin
3. Ali Zainal Abidin bin
4. Muhammad Al-Baqir bin
5. Ja’far Shadiq bin
6. Ali Al-Uraidhi bin
7. Isa bin Muhammad bin
8. Ahmad Al-Muhajir bin
9. Ubaidillah bin
10. Alwi bin
11. Muhammad bin
12. Alwi bin
13. Ali Khali’ Qasam bin
14. Muhammad Shahib Mirbath bin
15. Alwi Ammil Faqih bin
16. Abdul Malik Azmatkhan bin
17. Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin
18. Husain Jamaluddin bin
19. Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin
20. Muhammad Kabungsuan/Andayaningrat bin
21. Sayyid Shihabudin / Ki Ageng Pengging Bin
22. Sayyid Abdurrahman / Jaka Tingkir bin
23. Sayyid Abdul Halim / Pangeran Benawa