Kyai Haji
Mohammad Hasyim Asy’ari, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau
Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947;
dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi
massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Riwayat
Keluarga
KH Hasyim
Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari,
pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama
Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir
(Sultan Pajang). Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Namun keluarga
Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang,
sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang
menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Silsilah
Nasab
Merunut
kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH Hasyim
Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan
lanjutan sebagai berikut:
Sunan Giri
(Raden Ainul Yaqin)
Abdurrohman
/ Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
Abdul Halim
(Pangeran Benawa)
Abdurrohman
(Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari
(Jombang)
KH. Hasyim
Asy’ari (Jombang)
Menurut
catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut, silsilah dari Sunan Giri (Raden Ainul
Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu sebagai berikut:
Husain bin
Ali
Ali Zainal
Abidin
Muhammad
al-Baqir
Ja’far
ash-Shadiq
Ali
al-Uraidhi
Muhammad
an-Naqib
Isa ar-Rumi
Ahmad
al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad
Sahibus Saumiah
Alwi
ats-Tsani
Ali Khali’
Qasam
Muhammad
Shahib Mirbath
Alwi Ammi
al-Faqih
Abdul Malik
(Ahmad Khan)
Abdullah
(al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah
Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin
Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
Maulana
Ishaq
dan ‘Ainul
Yaqin (Sunan Giri)
Pendidikan :
Sejak
anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di
antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13
tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar
ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana
memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi
santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren PP
Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas
dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan,
Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.
KH Hasyim
Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga
pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana
menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di
Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang,
Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Tak lama di
sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang
diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber
Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas
dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di
Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada
pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu,
melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan
Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim
bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan
di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893,
ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7
tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz
At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said
Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid
Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899 pulang ke
Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama
kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim bukan saja
Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya
puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak
mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya
berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang
itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Silsilah
Keilmuan
KH Muhammad
Saleh Darat, Semarang
KH Cholil
Bangkalan
Kyai Ya’qub,
Sidoarjo
Syaikh Ahmad
Khatib Minangkabau
Syaikh
Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad
Amin Al Aththar
Syaikh
Ibrahim Arab
Syaikh Said
Yamani
Syaikh
Rahmaullah
Syaikh
Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas
Al Maliki
Sayyid Alwi
bin Ahmad As Segaf
Sayyid
Husain Al Habsyi
Sayyid
Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah
al-Zawawi
Sayyid Ahmad
bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu
Bakar Syatha al-Dimyathi
Memperoleh
ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
Penerus
Beliau
(Murid) :
Ribuan
santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng,
Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh
dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:
KH Abdul
Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
KH Bisri
Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul
Arifin
KH Wahid
Hasyim (anaknya)
KH Achmad
Shiddiq
Syekh
Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar
Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab
Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi
(Kudus)
KH Dahlan
(Kudus)
KH Shaleh
(Tayu)
(Keturunan)
Berikut
disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu
Nyai
Khodijah, istri pertama yang merupakan putri dari Kyai Ya’qub, Sidoarjo.
Meninggal dunia sewaktu Kyai Hasyim Asy’ari menuntut ilmu di Mekkah
Nyai
Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas,
pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Putra-putri
dari Nyai Nafiqoh
(1) Hannah
(2)
Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul
Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
(6) Abdul
Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul
Karim
(8)
Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10)
Muhammad Yusuf
Nyai
Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat, yaitu putri dari Kyai Hasan,
pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini,
Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
(1) Abdul
Qodir
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad
Ya’kub
Jasa dan
Karya Beliau !
Jasa Bagi
Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite
Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional
Sejarah
Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya
dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah.
Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur
itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad
Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad
Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu
ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya
melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui,
buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam
selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam
yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian
santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu
saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk
memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya
bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat
universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat,
mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat
memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial,
politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat
Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab
dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad
Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa
hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang
kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya
juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia
menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.
Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang
sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk
menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para
ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak
menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan
bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam
berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan
pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering
disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap
tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang
diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan
dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di
Mekkah.
Karena
aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab
agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam
Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.
Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan
aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai
Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama
(NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU
berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika
beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam
Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai
Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik
Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan
panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan
Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga
muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun
1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat
itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan
adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab
Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid
hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama
terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan,
sosial, dan politik.
Pada masa
itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi
sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin,
karena dianggap bid’ah.
Di
Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan
H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati
keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan
penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan
dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam
Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan
mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong
oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian
terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh
pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang
diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja
Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang
pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga
rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas
melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran
internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta
peradaban yang sangat berharga.
Mendirikan
Nahdlatul Ulama
Tahun 1924,
kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan
sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat
istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti
sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam
hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif,
Bangkalan.
Sementara
nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai
Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad
Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah
Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di
Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat
Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai
Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung
bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya
lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus
berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya
Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun
kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai,
saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad
sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan
As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela
tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih.
Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh
melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada
sang guru.
”Kyai Kholil
juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah
As’ad.
Kehadiran
As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh
menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya
mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui
salat istikharah.
Sayangnya,
sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih
dahulu.
Pada tanggal
16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan,
dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim
dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi
dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana
diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat
pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh
dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi
Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari
pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini
Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat
Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera
yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa
dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun
1912).
Kyai Hasyim
pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran
Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab
dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau
Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas
dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan
Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil
menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat
pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala
Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai
pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Mendirikan
Pesantren Tebuireng
Tahun 1899,
Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng.
Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah
berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras,
kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari
bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak
kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat
berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan
tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian
meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua
tahun membangun pesantren Tebuireng, Jombang, Kyai Hasyim kembali harus
kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah
menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim
kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh
Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak,
yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6)
Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10)
Muhammad Yusuf.
Pada akhir
dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan
Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu,
Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
(1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Jasa Bagi
Indonesia
(Resolusi
Jihad)
Peran Beliau
dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan
dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai
Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha
untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun
1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan
penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik
haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat
juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang
menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta
ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa awal
perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun
1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim
dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam
pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu
menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari
jeratan hukum.
Belum puas
dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan
untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.
Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab
dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung
hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan
Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat
Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah
tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru
bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang
menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk
memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu
perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta
sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak
melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah
Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini
juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai Hasyim
menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan
manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah,
mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara
Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada
di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam
tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah
penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren
Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga
Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus
mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18
Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai
Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah
dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22
Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang
dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin
Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan
mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi
Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad
ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang
rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat
Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan
membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.
Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal
7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah
konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is
‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa
perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat,
sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII,
Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan
Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Kisah
Teladan Beliau
Kesan Akhlak
dan Kecerdasan:
Pernah
terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim
Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan.
Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil,
begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim
menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan
kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya,
seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan,
akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa
tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa
kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada
Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya,
ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju
tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke
kaki gurunya.
Sesungguhnya
bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan
itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan
adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling
menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan
guru-guru kita.
Mbah Cholil
adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan
tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus
pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan
Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus
pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama,
tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu
Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits
Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian
ummat Islam.
Maka tak
heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan
gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai
Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim
kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul
Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim
(anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah
menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak
lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting
di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa
pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren
di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi
gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.
Mengambil
Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah satu
rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat
dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid
adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti
kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru
(kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan
syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baii,
murid tidak boleh membantahnya.
Inilah yang
dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada
KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim
dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi
dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu
yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis,
melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai
murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi
dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan)
kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila
sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan
guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih
dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Cholil Bangkalan.
Kalau anak
santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar
dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis.
Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara
ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.
Suatu hari,
seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya,
Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim
melihat gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang
mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk
bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada apa
gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH Cholil
Bangkalan.
” Bagaimana
tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu
masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada
sedih.
Mendengar
jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu mencarikan
cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar
mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus
dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan
sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank
itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim
penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.
Betapa
riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu.
Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan
pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang
besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah
doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya
mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi
ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi
pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.
http://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/05/28/biografi-kh-hasyim-asyari-pendiri-nu-tebuireng-jombang/