Minggu, 27 Oktober 2013

Ahli Puasa Dapat Nikmat Kubur

Berita Alam Kubur pada siang ini tentang nikmat kubur yang diterima oleh seorang yang ahli berpuasa. Kita semua tentu sangat ingin mendapatkan nikmat kubur, semoga kita semua bisa meniru amalan-amalan yang ada dalam kisah kubur ini.

Seperti kabar ini, karena semasa hidupnya rajin menjalankan puasa Ramadhan dan diikuti puasa 6 hari di bulan Syawal, seorang muslim mendapatkan nikmat kubur. Ibadah-ibadah itulah yang menjaganya selama di alam Barzah.
Berikut ini Kisahnya.
Sufyan Atstsauri ra mengisahkan bahwa pada saat ia tinggal di Makkah selama 3 tahun, ia pernah mendapatkan peristiwa yang aneh.
Kala itu di antara penduduk Makkah, sebuat saja namanya Abdullah, memiliki ibadah yang sangat istikhomah.

Abdullah selalu datang ke Masjidil Haram pada waktu terik matahari. Dia thawaf dan shalat 2 rakaat, kemudian Abdullah menyalami Sufyan dan kemudian pulang ke rumahnya.
Begitulah kebiasaan Abdullah setiap harinya, sehingga terjalinlah persahabatan yang erat antara mereka.

Istikhamah Beribadah.
Namun, pada suatu siang hari yang terik, Sufyan tak menemukan Abdullah.
Hingga selepas shalat Ashar, ia tak bertemu Abdullah. Maka timbullah pertanyaan pada dirinya.
"Apa yang terjadi dengan sahabatku Abdullah? Apakah ia sedang sakit?" pikirnya dalam hati.

Berawal dari rasa penasaran itu, akhirnya datanglah Sufyan ke rumah Abdullah.
Dugaan Sufyan ternyata benar, saat itu Abdulah tengah terbaring sakit di ranjangnya. Dalam kondisi yang lemah itu, Abdullah memanggil sahabatnya untuk duduk lebih dekat dengannya sembari mengucapkan sesuatu.

"Apabila aku mati nanti, hendaklah kamu sendiri yang memandikan aku, menshalati aku, lalu kuburkanlah aku dan jangan engkau tinggalkan aku sendirian di kuburan pada malam harinya. Talqinkanlah aku dengan kalimat tauhid ketika Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku," ucap Abdullah.

Sufyan pun menyanggupinya.
Tak lama kemudian, akhirnya Abdullah meninggal dunia. Sufyan sangat sedih telah kehilangan sahabat karibnya itu.
Meski demikian, ia tetap sabar dan ikhlas sembari melaksanakan amanah yang disampaikan almarhum kepadanya.

Setelah itu, Sufyan merawat jenazah Abdullah, sahabat karibnya.
Ia memandikannya, menshalatinya dan kemudian menguburkannya. Pada malam harinya, Sufyan juga menunggu seorang diri di atas makam sahabatnya itu sambil membacakan kalimat talqin.

Nikmat Kubur.
Beberapa saat kemudian, antara sadar dan tidak, Sufyan mendengar suara dari atas.
"Wahai Sufyan, orang tersebut tidak butuh penjagaanmu, talqinmu, dan pelipur lara darimu, karena aku telah mentalqinkannya dan memberinya kesenangan," kata suara tanpa wujud itu.

"Dengan apa engkau menjaganya?" tanya Sufyan.
"Dengan puasa di bulan Ramadhan dan diikuti 6 hari pada bulan Syawal," jawab suara tadi.

Setelah dialog itu, tiba-tiba Sufyan terjaga dan tersadar. Ia kaget karena saat itu ia tidak melihat seorang pun di sekelilingnya. Sufyan masih ragu apakah suara itu berasal dari malaikat atau setan yang berupaya menghasutnya.

Maka dari itu, Sufyan kemudian pergi untuk berwudhu lalu melaksanakan shalat kemudian pergi tidur.
Anehnya, dalam tidur itu ia bermimpi persis seperti kejadian tadi, bahkan kejadian berulang hingga 3 kali.

Maka, kini yakinlah Sufyan bahwa suara itu dari malaikat Allah, bukan dari setan.
Dengan demikian Sufyan mengerti jika sahabatnya itu telah mendapatkan nikmat kubur.
Setelah itu, ia akhirnya pulang sambil berdoa,
"Ya Allah, dengan Anugerah dan Kemuliaan-Mu, berilah aku taufiq agar dapat berpuasa seperti puasa sababatku itu, Aamiin."


Syekh Jalil atau Syekh Jalaluddin

Syekh Jalil  atau Syekh Jalaluddin, atau disebut juga Syekh Makam Dowo – atau Syekh Ngalimurtolo dari Gresik, masih saudara dengan Sunan Ampel.
Semenjak mertua Syekh Abdurrahman – Bupati Arya Teja – Tuban telah menjadi daerah Islam. Syekh Abdurrahman atau Arya Teja adalah putera Syekh Jali.
Syekh Abdurrahman atau Arya Teja adalah suami dari Raden Ayu Arya Teja, putri Bupati Tuban Raden Arya Dikara (Bupati Tuban ke-6). Jadi, pada masa akhir pemerintahan Majapahit, telah ada bupati Tuban yang memeluk agama Islam.
Adapun mengenai makam Syekh Jali yang panjangnya sampai lima meter adalah suatu hal yang luar biasa.
Namun bila ditafsirkan bahwa maksud Makam Dowo itu merupakan suatu kiasan bahwa tujuan mengislamkan pulau Jawa memerlukan waktu yang cukup panjang karena masyarakat Jawa Timur pada saat itu masih memeluk agama Hindu dan Budha.
Sedangkan ahli sejarah lain menafsirkan “Makam Dowo” merupakan kiasan bahwa orang yang dimakamkan di situ datang dari negeri yang jauh.


Syeikh Ismail Zain al-Yamani

Nama lengkap kelahirannya

Nama lengkap beliau adalah Alim al-Allamah al-Faqih Syeikh Ismail bin Ismail bin Usman bin Ali bin Salimbin Abdurrahman bin Abi Ghaits bin Ibrahim bin Ismail bin Muhammad az-Zain.

Beliau di lahirkan pada bulan Rabi`ul Awal tahun 1352 hijriyyah di kota Dhahi, kota ini terletak di wilayah Wadi Sardud, kota yang banyak mengeluarkan ulama dan orang yang shaleh-shaleh.

Sifat, tabi`at, dan bentuk tubuhnya

Syeikh Ismail memiliki tubuh yang sedang-sedang saja, tidak kurus dan juga tidak gemuk, pembawaannya selalu santai dan tenang, tidak berbicara kecuali sekedar keperluan, beliau sangat di cintai oleh penduduk kampungnya, bersifat zuhud, wara`, tawadhuk, tidak suka membuangkan masa kepada perkara-perkara yang tidak perlu, menghornati ulama dan orang tua, rajin bekerja dan taat beribadah.


Belajar Ilmu agama

Dari kecilnya telah belajar ilmu agama atas didikkan ayahandanya, banyak sekali kitab-kitab yang telah beliau habiskan, diantara kitab-kitab yang beliau baca dan pelajari adalah ; Safinatu an-Naja, al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, Matan al-Ajurumiyyah, dan beliau banyak  menghapal  matan-matan kitab.

Selain belajar ilmu agama dari ayahnya, beliau juga telah belajar dari banyak ulama-ulama yang berada di kotanya, kerajinan dan kegigihan beliau terhadap illu agama sangat tinggi sekali, setiap disiflin ilmu agama beliau pelajari dengan sungguh-sungguh, dari mulai Fiqih, Tafsir, Hadis, Nahu, Taswuf, Fara`idh, Sorof, TauhidUsul Fiqih, Mantiq, Balaghah `Arudh dan lain-lainnya.

Pada tahun 1375 hijriyah beliau mulai mengajar di kotanya dan di kota az-Zaidiyyah, para guru-gurunya sangat senang sekali, sebab mereka melihat beliau memiliki pemahaman yang lurus, kecerdasan yang tinggi, banyak diantara teman-temannya juga ikut mendengarkan pengajian beliau, para pelajar memadati halaqah pengajiannya.

Berhijrah ke Makkah Mukarramah

Pada tahun 1380 hijriyah beliau berhijrah ke Makkah al-Mukarramah dan berniat untuk menetap di Makkah, dari tahun inilah beliau sibuk untuk mengajar, mengarang kitab, mentela`ah kitab, mulailah ulama-ulama Makkah mengenali keilmuan beliau, disamping itu beliau juga belajar dengan ulama besar yang masih hidup di kota suci tersebut, dari pengajianSyeikh Hasan Masyath, Syeikh Muhammad al-Arabi at-Tabbani, Syeikh Muhammad Yahya Aman, Syeikh Hasan Sa`id Yamani, Syeikh Alawi al-Maliki dan lain-lainnya.

Pada tahun 1382 hijriyyah beliau mulai mengajar di Madrasah as-Solatiyyah al-Hindiyyah yang terkerkenal dengan keberkataannya, beliau diangakat menjadi guru tingkat Tsanawiyah dan Aliyyah dalam jangka 23 tahun.

Disamping beliau mengajar di Madrasah Solatiyyah,beliau juga mengajar di Masjid al-Haram dan di rumah pribadinya, para penuntut ilmu banyak mendatangi pengajian beliau, terlebih-lebih pelajar dari Indonesia, Malaysia dan Fathoni (Thailand ), nama beliau menjadi masyhur di kalangan ulama terlebih-lebih di kalangan ulama Syafi`iyyah di Makkah dan sekitaranya, sehingga beliau menjadi sumber fatwa permasalahan-permasalahan yang baru, waktu beliau di habiskan untuk mengajar dan memberikan fatwa, terkadang-kadang datang dari negara Indonesia permohonan fatwa dari permasahan yang baru.

Para guru-guru beliau :

Diantara guru-guru beliau adalah :

1 - Ayahandanya Ismail bin Usman Zain al-Yamani.
2 - Sayyid Umar `Awadh al-Ahdal.
3 - Sayyid Abdul Qadir Qadiri al-Hasani.
4 - Sayyid Husein bin Muhammad az-Zawak.
5 - Sayyid Muhammad bin Muhammad ibni Abdurrahman al-Qadimi.
6 - Sayyid Muhammad bin Yahya Dum al-Ahdal.
7 - Syeikh Islam Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal.
8 - Sayyid Muhammad bin Hasan bin Abdul Bar al-Ahdal.
9 - Syeikh Alawi bin Abbas al-Maliki al-Makki.
10 - Syeikh Muhammad al-Arabi at-Tabbani.
11 - Syeikh Hasan Masyath.
12 - Syeikh Muhamad Yahya Aman.
13 - Syeikh Hasan Sa`id Yamani.
14 - Sayyid Muhammad Amin Kutubi.
15 - Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani.
16 - Syeikh Amin at-Torablusi.
17 - Syeikh Hasanain Makhluf.
18 - SYeikh Ahmad Hamadah.
19 - Syeikh Ibrahim Abu an-Nur Syafi`i.
20 - Syeikh Muhammad Ilyas.
21 - SYeikh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi.
22 - Syeikh Muhammad Yusuf Banuri.
23 - Syeikh Abdullah Sirajuddin.
24 - Syeikh Bakri Rajab.
25 - Syekh Abdullah Shiddiq al-Ghumari.
26 - Syeikh Abdul Aziz Shiddiq al-Ghumari.
27 - Syeikh Abdul Wasi` al-Wasi`i.
28 - Syeikh Muhammad Makki bin Muhammad bin Ja`fari al-Kattani.
29 - Syeikh Muhammad bin Salim bin Hafizh al-Yamani.
30 - Syeikh Abdullah bin Abdul Karim al-Jarafi
Dan lain-lain.

Diantara Murid-murid beliau adalah :

1 - Syeikh Muhammad bin Ismail al-Yamani al-Makki.( * )
2 - Syeikh Ahmad Jamhuri al-Banjari.( * )
3 - Syeikh Zainal Abidin Jefri al-Banjari.( * )
4 - Syeikh Mahmud Said Mamduh al-Qahiri.( * )
5 - Syeikh Ibrahim Zannun al-Mandili.( * )
6 - Syeikh Abdul Malik Raihan bin Abdul Qadir al-Mandili.( * )
7 - Syeikh Muhammad Husni Tamrin Jefri al-Banjari.( * )
9 - Syeikh Ali Jum`ah ( Mufti Mesir ).( * )
10 - Syeikh Husein Siraj al-Fathani. ( * )
11 - Syeikh Khalid bin Abdul karim Turkistani.( * )
12 - Syeikh Asyrof Ismail at-Tijani.( * )
13 - Syeikh Muhammad Nuruddin al-Banjari.( * )
14 - Syeikh Ibrahim bin Abdullah al-Ahsa`i.( * )
15 - Syeikh Hamid bin Akram al-Bukhari. ( * )
16 - Syeikh Abdullah bin Naji al-Makhlafi.
17 - Syrikh Ahmad bin `Asyur al-Makki.( * )
18 - Syeikh Yusuf bin Abdurrahman al-Mar`asyli. ( * ).
19 - Syeikh Soleh Ahmad bin Muhammad Idris al-Arkani.
20 - Syeikh Abdul Fatah Husein Rowah ( Rawa-red ).
Diantara hasil karangan beliau adalah :

1 - Arba`una Hadisan Fi al-Mawa`izh Wa al-Ahkam.
2 - Irasyadu al-Mu`min Fi Fadha`ili Zikri Rabbi al-`Alamin.
3 - Is`afu at-Thullab Bi Syarhi Nizomi Qawa`idi al-I`rab.
4 - al-Jawabul al-Wadhih as-Syahir Fi al-Ghazawat.
5 - Daiwan al-Khithabi al-Minbariyyah.
6 - Risalah Ziyarah Fi Jabal Uhud.
7 - Risalah Fi Maudhu`i al-Halq Wa at-Taqshir Fi an-Nusuk.
8 - Risalah Haula Istikhdami Mukabbirati as-Shaoti Fi al-Masajid.
9 - Risalah Tata`allaqu Bi as-Shalati Fi at-Tha`irah.
10 - Dhu`u as-Syam`ah Fi Khususiyati al-Jum`ah.
11 - Shilatu al-Khalaf Bi Asanid as-Salaf.
Dan lain-lain.

Setelah menghabiskan masa dan umurnya untuk menebarkan ilmu tanpa jemu dan lelah akhirnya beliau meninggal dunia pada hari rabu 21 Zul Hijjah 1414 hijriyyah, di sembahyangkan setelah shalat subuh di Masjid Haram pada hari kamis kemudian di kuburkan di perkuburan Ma`la berhampiran dengan kuburan Sayyidah Asma` binti Abu Bakkar r.a.

Rujukkan :

1 - Kasyfu al-Ghain An Nabadzati Hayati Ismail az-Zain : halaman :17 ,Syeikh Ismail Zain, Dar al-Qudus.

2 - Mu`jam al-Ma`ajim Wa al-Masya`ikh Wa al-Faharis Wa al-Baramij Wa al-Atsbat : 85 / 3, karangan Doktor Yusuf al-Mar`asyli, Maktabah ar-Rusyd.

3 - `Aqdu al-Jauhar Fi Ulama ae-Rub`i al-Awwal Min al-Qarni al-Khamis `Asyar,:1754 / 2 , Doltor Yusuf al-Mar`asyli , Dar Makrifah, Libanon.



Syekh Husien

Inilah kisah yang meluruskan tentang animo masyarakat akan kebenaran silsilah keturunan Auliya/Pemuka agama dilingkungan Buju’ Batu Ampar. Semata-mata untuk mengembalikan kesadaran kita tentang nilai kebesaran Allah SWT. Seperti yang terdapat di Pesarean Buju’ Batu ampar ini adalah kekasih-kekasih Allah yang telah mendapatkan karomah atas kemurahan rahmat dan hidayah-Nya.

Kisah ini semoga menjadi teladan serta penuntun bagi kaum muslimin dan muslimat dalam sebuah perjalanan menuju cita-cita mulia, guna menjadi INSAN KAMIL yang memegang teguh, menjaga serta memelihara kemurnian islam hingga hari yang dijanjikan ( kiamat ).
Wallahu a’lam Bisshawab.



Silsilah Auliya’ Batu Ampar, Madura
Sayyid Husein, berputra :
Syekh Abdul Manan / Buju’ Kosambi
Syekh Abdul Rohim / Buju’ Bire
Syekh Abdul manan / Buju’ Kosambi, berputra…
Syekh Basyaniah / Buju’Tumpeng, berputra…
Syekh Abu Syamsudin ( Su’adi ) / Buju’ Latthong, berputra 3 :
Syekh Husein, berputra : ( ket. Dibawah )
Syekh Lukman berputra : Syekh Muhammad Yasin
Syekh Syamsudin, berputra : Syekh Buddih
Syekh Husein, berputra…
Syekh Muhammad Ramly, berputra..
KH. Damanhuri, berputra/ putri 10 :
KH. Amar Fadli
KH. Mukhlis
KH. Romli
KH. Mahalli
KH. Kholil
KH. Abdul Qodir
KH.Ach. Fauzy Damanhuri
KH. Ainul Yaqin
Nyai Hasanah
Nyai Zubaidah
Sayyid Husein
Disuatu desa diwilayah Bangkalan, tersebutlah seorang pemuka agama Islam yang bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena ketinggian ilmu Agamanya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau juga memilikibanyak karomah karena kedekatannya dengan sang Kholiq.Beliau sangatdihormati pengikutnya dan semua penduduk disekitar bangkalan.

Namun bukan berarti beliau lepas dari orang yang membencinya.Disebabkan karena mereka iri dengan kedudukan beliau dimata masyarakat saat itu.Hingga suatu hari ada seseorang penduduk yangiri dengki dan berniat buruk mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein.Orang itu merekayasa cerita fitnah, bahwa Sayyid Husein bersama pengikutnya telah merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan kekuasaan raja Madura.
Alhasil cerita fitnah ini sampai ditelinga sang Raja. Mendengar kabar itu Raja kalang-kabut dan tanpa pikir panjang mengutus panglima perang bersama pasukan untuk menuju kediaman Sayyid Husein.Sayyid Husein yang saat itu sedang beristirahat langsung dikepung dan dibunuh secara kejam oleh prajurit kerajaan.Mereka melakukan hal itu tanpa pikir panjang dan disertai bukti yang kuat. Akhirnya Sayyid Husein yang tidak bersalah itu wafat seketika itu juga dan konon jenazahnya dikebumikan diperkampungan tersebut.

Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat berita yang mengejutkan dan sungguh mengecewakan, serta menyesali keputusannya yang samasekali tidak didasari bukti-bukti yang kuat. Berita tadi mengabarkan bahwa sebenarnya SayyidHusein tidak bersalah, karena sesungguhnya beliau telah difitnah.Karena sangat menyesali perbuatannya, Raja Bangkalan memberikan gelar kepada beliau dengan sebutan Buju’ Banyu Sangkah ( Buyut Banyu Sangkah ). Dan tempat peristirahatan beliau terletak dikawasan Tanjung Bumi, Bangkalan.

Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan duaorang putra. Yang pertama bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohiim. Kedua putra beliau ini sepakat untuk pergi menghindari keadaan dikampung tersebut. Syekh Abdul Rohim lari menuju Desa Bire ( Kabupaten Bangkalan ), dan menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal sebagai Buju’ Bire ( Buyut Bire ). Wallahu a’lam

Syekh Abdul Manan ( Buju’ Kosambi )
Lain halnya dengan SyekhAbdul Manan. Beliau pergi mengasingkan diri dan menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan sengsara dan penuh penderitaan. Beliau sangat terpukul sekali kehilangan orang yang sangat dikasihinya.Hingga akhirnya beliau sampai disebuah hutan lebat ditengah perbukitan diwilayah Batu ampar ( Kabupaten Pamekasan ). Dihutan inilah akhirnya beliau bertapa / bertirakat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.Dalam melaksanakan hajatnya beliau memilih tempat dibawah Pohon Kosambi. Syahdan tapa beliau ini berlangsung selama 41 tahun. Saat memulai tapaitu beliau berumur 21 tahun. Hingga akhirnya beliau ditemukan anak seorang penduduk desa ( Wanita ) yang sedang mencari kayu dihutan.

Singkat cerita akhirnya Syekh abdul Manan dibawa kerumahnya. Dari hubungan tersebut, timbullah kesepakan antara orang tua si anak tersebut untuk menjodohkan Syekh abdulManan dengan salah seorang putrinya. Sebagaitanda terima kasih, beliau memilih si sulung sebagai istrinya, walaupun dalam kenyataannya sisulung menderita penyakit kulit. Anehnya terjadi keajaiban di hari ke 41 pernikahan mereka. Saat itu juga sang istri yang semula menderita penyakit kulit tiba-tiba sembuh seketika. Dan bukan hanya itu kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita, sampai-sampai kecantikannya tersiar kemana-mana.Dankonon kabarnya pula bahwa Raja Sumenep mengagumi dan tertarik akan kecantikan istri Syekh Abdul manan ini.
Dari pernikahan ini, beliau dikarunia seorang putra yang bernama Taqihul Muqadam , setelah itu menyusul pula puta kedua yang diberi nama Basyaniah . Setelah bertahun-tahun menjalankan tugasnya sebagai Khalifah, akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan duaorang putra. Jenazahnya dimaqamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Buju’ Kosambi. Dan putra pertama beliau juga saat wafat jenazahnya dikebumikan didekat pusaranya. Wallahu a’lam.

Syekh Basyaniah ( Buju’ Tumpeng )
Putra kedua Syekh Abdul manan yang bernama Basyaniah inilah yang mengikuti jejak ayahanda. Beliau senang bertapa dan cenderung menjauhkan diri dari pergaulan dengan masyarakat. Dan beliau juga selalu menutupi karomahnya.Ketertutupan beliau ini semata-mata bertujuan untuk menjaga keturunannya kelak dikemudian hari agar menjadi insan kamil atau manusia sempurna dan sholeh melebihi diri beliauserta menjadi khalifah yang arif dimuka bumi.

Dalam menjalani hajatnyabeliau bertapa dan memilih tempat disuatu perbukitan yang terkenal dengan nama Gunung Tompeng yakni suatu bukit sepi dan sunyi yang penuh dengan tanda-tanda kebesaran Illahi. Bukit tersebut terletak kurang lebih 500 m arah barat daya ( antara Barat-Selatan ) dari Desa batu Ampar.

Saat wafatnya beliau meninggalkan seorang putra yang bernama Su’adi atau terkenal dengan sebutan Syekh Abu Syamsudin dan mendapat julukan Buju’ Latthong. Sedang jenazah Syekh Basyaniah dikebumikan berdekatan dengan pusara Ayahanda. Beliau akhirnya mendapatjulukan Buju’ Tumpeng .
Wallahu a’lam

Syekh Abu Syamsudin ( Buju’ Latthong )
Kisah hidup putra tunggalSyekh Basyaniah ini tidak berbeda dengan perjalanan hidup yang pernah ditempuh oleh ayahanda dan buyutnya yakni gemar bertapa dan selalu menyendiri bertirakat serta selalu berpindah-pindah dalam melakukan tapanya.Misalnya salah satu tempat pertapaanyayang ditemukan didekat kampung Aeng Nyono’ . Wilayah tempat tersebut ada ditengah hutan yang lebat. Karena seringnya tempat tersebut dipergunakan sebagai lokasi tirakat / bertapa, oleh penduduk setempat dinamakan Kampung Pertapaan.

Begitu juga bukit yang ada dikampung Aeng Nyono’ yang menjadi tempat bertapanya Syekh Syamsudin. Disana terdapat sebuah kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada manusia sampai sekarang. Tepat disebelah barat tempat beliau bertapa terdapat sumber mata air yang mengalir ke atas Bukit Pertapaan. Konon Syekh Syamsudin mencelupkan tongkatnya sampai akhirnya mengalir ke atasbukit hingga kini. Masya Allah…sungguh merupakan karunia yang besar dan jauh diluar akal manusia. Atas dasar keajaiban itulah yang menjadi asal-usul nama kampung Aeng Nyono’ ( Bahasa Madura ) artinya air yang menyelinap/mengalir ke atas. Dan konon dengan air inilah beliau berwudhu dan bersuci.

Asal usul sebutan Buju’ Latthong
Keramat itu muncul karena disebabkan keluarnya sinar dari dada beliau. Apabila sinar itu dilihat oleh orang yang berdosa dan belum bertaubat, maka orang tersebut akan pingsan atau tewas.
Kisah lain menceritakan karena seorang yang berjuluk Buju’ Sarabe yang bertabiat buruk berniat menghabisi beliau. Banyak penduduk desa yang dibunuhnya. Tetapi ketika akan menghabisi Syekh Syamsudin, ketika Buju’ Sarabe dan anak buahnya mencabut senjata, mendadak senjata itu lenyap dan tinggal warangkannya.Setelah mengaku kalah dan memohon agar senjatanya dikembalikan, Syekh Syamsudin menunjukkan letak senjata tersebut yang berada dalam Latthong ( Bahasa madura yang berarti kotoran sapi ).

Sebab itulah karena khawatir tentang hal itu, maka beliau menutupi dadanya dengan cara mengoleskan Latthong disekitar dada beliau. Banyak sekali kisah kekeramatan beliau. Setelah cukup menjalani darma baktinya sebagai Khalifah, akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan tiga orang putra. Dan dikebumikan diBatu ampar, madura. Wallahu a’lam

Syekh Husein
Sepeerti halnya pendahulunya, syekh Husein inipun senang menjalani laku tirakat. Selain itu beliau ini terkenal akan kecerdasanpikirannya. Beliau hapal Kitab Ihya Ulumuddin Imam Ghozaly. Bahkan hapalannya sedemikian akurat sampai titik dan baris dikitab itu beliau mengetahuinya. Masa bertapa Syekh Husein ini tidaklah selama pendahulunya. Disebabkan perobahan zaman, maka tempat tinggal dan daerah sekitar telah menjadi ramai oleh pendatang. Beliau banyak bergaul danmenjadi pemuka masyarakat dan tokoh agama yang disegani. Danbeliau adalah keturunan terakhir dari Sayyid Husein yang mempunyai kegemaran bertapa dan menjalankan laku tirakat.Keturunan sesudahnya cenderung untuk merantau dan mencari guru untuk menuntut ilmu. Wallahu a’lam

Syekh Muhammad Ramly
Putera tunggal Syekh Husein ini sejak kecil senang sekali menuntut ilmu. Hingga menjelang dewasannya beliau pergi menuntut ilmu dan menuju Kabupaten bangkalan. Disana beliau berguru dan menuntut ilmu kepada seorang Waliyullah yang bernama Syaikhona Kholil, Bangkalan. Setelah cukupmenimba ilmu dengan sang Waliyullah, beliau menuju ke Saudi Arabia. Dan menetap disana selama 10 tahun.

Setelah cukup 10 tahun, akhirnya beliau kembali dan menetap ditanah asal, batu ampar. Beliau menjadi panutan masyarakat dalam kehidupan beragama. Setelah berkeluarga, beliau dikaruniai seorang putra yang diberi nama Damanhuri . Sayang sekali kehidupan beliau sangat singkat. Saat puteranya masih membutuhkan kaih sayangnya, beliau akhirnya wafat dan dimaqamkan dipesarean Batu ampar. Wallahu a’lam

Syekh Damanhuri
Semasa hidupnya Syekh Damanhuri tidak banyak mendapatkan belaian kasih sayang dari Ayahandanya. Hingga akhirnya beliau di asuh sendiri oleh sang kakek ( Syekh Husein ).Beliau mendapatkan bimbingan dan tuntunan beragama secara langsung dari Syekh Husein. Akhirnya setelah cukup umur, beliau pergi menuntut ilmu ditempat Ayahandanya dahulu belajar. Yaitu ditempat Syaikhona Kholil, Bangkalan.

Singkat cerita setelah cukup menimba ilmu di pesantren Syaikhona Kholil, beliau akhirnya kembali ke kampung halaman.Seperti halnya para pendahulu, beliaupunmenjadi Tokoh masyarakat di batu Ampar. Syekh Damanhuri mempunyai 2 orang istri. Dari istri pertamanya dikaruniai 2 orang anak ( KH.Umar Fadli dan Nyai Hasanah ) dan bersama istri yang kedua dikaruniai 8 orang putra/putri ( KH.Romli, KH.Mahalli, KH.Ach.Fauzy, KH.Mukhlis, Nyai Zubaidah, KH.Kholil, KH. Abdul Qodir dan KH.’Ainul Yaqin )
Dan diantara putranya yang masih ada itulah, yang menjadi generasi penerusnya. Sebagai panutan dan pembimbing serta kholifah dimuka bumi ini demi terpeliharanya kesucian dan kemurnian Islam untuk masa yang kita tidak ketahui batasnya.

Demikianlah sekilas kisah Para Buju’ Batu Ampar. Semoga kisah ini bermanfaat bagi pembaca dan pewaris Ilmu-ilmu Raje. Jadikanlah beliau diatas sebagai teladan dan hikmah. Wallahu a’lam
Wassalamu’alaikum, wr.wb. Jazakumullah bi ahsanal jaza. 

Diposkan oleh Edy Rusman
http://mutiara-fiqh.blogspot.com/2012/03/wali-allah-syekh-husien.html#more

Syekh Gentaru, Kabupaten Tuban

Makam Syekh Gentaru berada di Dusun Kedungsari, Desa Tuwiri Wetan, Kecamatan Merakurak, Tuban.Menurut cerita yang ada di masyarakat,Syekh Rifa’i adalah ulama kondang di jaman Islam mulai masuk ke tanah Jawa yang dibawa para wali. Nama SyekhRifa’i sendiri memang tak setenar nama-nama para wali yang banyak tersebar di Tuban. Seperti Sunan Bonang, Maulana Ibrahim Asmoroqondi, Sunan Kalijaga, Sunan Bejagung maupun Sunan Geseng.
Akan tetapi keberadaan syiar Islam yang dilakukannya telah diketahui warga.Bahkan, Syekh ini pula dalam syiarnya acap memasuki daerah yang dikenal sebagai kawasan merah.Kawasan yang dihuni para gembong rampok dan begal.Karena ilmu kanuragan yang dimilikinya pula, Syekh ini dikenal sebagai tokoh penakluk. Apalagi konon, Syekh Rifa’i memiliki ilmu Rawa Rontek, yang bisa hidup kembali setelah jasadnya menyentuh tanah. Bahkan jika kepala dipenggal akan menyatu kembali jika tak dimakamkan secara terpisah.
Syeh Rifa’iselalu berpindah-pindah tempat semasa hidupnya. Setelah pengikutnya banyak dan mulai tersebar, Syekh kelahiran jazirah Arab ini akhirnya memutuskan uzlah (laku menyendiri) di Goa Yung Yang. Meski telah bertahun-tahun berkontemplasi dengan Sang Khaliq di dalam goa, namun ajaran dan syiarnya diteruskan para pengikutnya.
Alkisah, kala itu Tuban dipimpin Bupati Wilwatikta. Bupati yang juga orangtua Raden Said, termasuk penguasa yang gigih mempertahankan kekuasaannya.Tokoh ini pula yang dikenal se- bagai bupati yang tegas.Kompleks Goa Srunggo memang acap didatangi Bupati Wilwatikta, selepas berburu hewan buas di hutan jati wilayah setempat. Tak jarang pula ia mengajak istrinya dalam perburuan tersebut. Namun, sang istri selalu mendirikan kemah menunggu suami berburu di sekitar Goa Srunggo. Apalagi Srunggo merupakan goa yang mengeluarkan air bersih yang mengalir kesana kemari.Rindangnya pepohonan menjadikan lokasi ini pilihan penguasa Kabupaten Tuban untuk berwisata.
Di samping Goa Srunggo terdapat goa lain. Yakni Goa Yung Yang.Tempat Syekh Rifa’i bersemedi.Ia berniat mengakhiri hidupnya di goa tersebut sambil melakukan kontemplasi dengan Sang Khaliq. Karena kelebihan yang dimilikinya ia mampu bertahan hingga bertahun-tahun di dalam goa. Hanya sesekali ia ke luar untuk menemui para pengikutnya. Menurut keterangan warga setempat, dinding Goa Yung Yang dulu selalu muncul penampakan Syekh Rifa’i. Warga meyakini itu terjadi karena karomah dan kesaktian sang Syekh.
Istri Wilwatikta sempat menengok dalam goa Yung Yang. Hingga mengetahui di dinding ada penampakan pria ganteng yang santun tersebut.Bahkan, perempuan nomor satu di jajaran Kabupaten Tuban itu meminta suaminya agar sering berburu. Dengan cara itu ia bisa sering bertemu dengan Syekh Rifa’i, sekalipun sekadar melihat wajahnya di dinding goa. Wilwatikta pun akhirnya mencium keanehan dari permaisurinya. Ia pun memerintahkan aparatnyauntuk menelisik dan menyusuri lorong Goa Yung Yang.Disitulah ditemukan Syekh Rifa’i yang masih terlihat sebagai lelaki muda dan gagah.Sosok yang sering hadir dalam mimpi dan igauan istrinya.
Syekh Rifa’i pun akhirnya diseret ke luar goa.Ia diadili oleh Wilwatikta dengan tudingan telah membuat istrinya terpikat. Di tengah amuk api cemburu, Wilwatikta pun menjatuhkan hukuman pancung pada Syekh Rifa’i. Sekalipun Sang Syekh tetap ngotot tidak pernah sengaja menggoda istri penguasa Bumi Ranggalawe tersebut.
Akhirnya Syekh Rifa’i mengajukan syarat untuk membuktikan tidaksalahnya. Jika setelah dipancung darah yang ke luar dari tubuhnya berwarna merah, berarti dia memang bersalah.Akan tetapi jika yang ke luar darah putih berarti dirinya tidak bersalah. Syarat itu disetujui oleh Wilwatikta.Hukuman pancung pun dilakukan.Setelah kepalanya terpenggal yang keluar adalah darah putih.Cairan darah putih tersebut juga memunculkan aroma harum bunga. Selain itu setelah raganya menyentuh tanah, kepalanya kembali menyatu dengan badan, sang jasad pun kembali hidup. Beberapa kali hal itu terjadi, hingga akhirnya setelah kepalanya terpisah dimakamkan berjauhan, meski masih dalam kompleks sumber air Goa Srunggo.
Wilwatikta menyesali keputusannya.Dalam rasa sesal mendalam, penguasa Tuban itu meminta jasad Syekh Rifa’i dimakamkan secara baik.Bukan sebagai pesakitan yang telah melakukan tindak pidana. Sesuai pesan yang disampaikan para pengikutnya, badan Syekh Rifa’i pun akhirnya dimakamkan di wilayah Sidomukti, kini masuk wilayah Kecamatan Kota, Tuban. Sedangkan kepalanya dimakamkan di kompleks Goa Srunggo.Pusara kepala itu yang hingga kini masih banyak didatangi peziarah.Usai pemakaman Wilwatikta mengajak para prajuritnya kembali ke Pendapa Kabupaten Tuban yang berada di Desa Prunggahan Wetan, Kecamatan Semanding, Tuban.
Namun sebelum beranjak terdengar suara tanpa rupa. Yang menyebut, “Siapapun pejabat di Tuban akan lengser jika menginjakkan kakinya di Goa Srunggo.” Sejak saat itu, namaSyekh Rifa’i telah tiada, oleh pengikutnya namanya diganti Syekh Gentaru, yang diambil dari darah putih dari badan beliau yang berbau harum.


Syekh Fadludin Jalalain

Penyebaran Islam di wilayah Malang dan sekitarnya tentu merupaan bagian dari Islamisasi  Indonesia ini.  Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Syekh Fadludin Jalalain atau lebih dikenal dengan Mbah Muhammad adalah salah seorang ulama besar pada jamannya yang turut berjasa menyebarkan dakwah Islam di Malang Raya.  Namun, banyak masyarakat Malang yang belum mengetahui apalagi mengenal sosok beliau.
Mbah Muhammad  berasal dari tanah Banten yang menyebarkan agama Islam di di daerah malang dan sekitarnya atas perintah dari kakak kandungnya yaitu Pangeran Muhammad Thohir Tasmiddin atau Kyai Muchtar.  Mbah Muhammad  memiliki garis keturunan dari raja-raja di Banten.
Satu-satunya peninggalan beliau dan saksi bisu perjuangannya  adalah makam beliau yang berada di depan mihrab Masjid Al Mukarromah, Kasin Kota Malang.  Setiap harinya makam itu tidak pernah sepi dari kunjungan para peziarah, baik dari Malang raya maupun luar kota Malang, apalagi jika hari Kamis malam Jum’at,  para peziarah bahan harus mengantri saat akan mendekat ke makamnya. Untuk mengenang jasa-jasa beliau, warga Kasin dan sekitarnya rutin mengadakan haulnya setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setiap Minggu ke tiga bulan Robi’uttsani  atau bakdho mulud.
Syeikh Fadlluddin ( Mbah Muhammad Djalalain ), nama aslinya adalah Pangeran Fadlluddin as Syeikh Muhammad Djalalain, bin Sultan Hajji Abun Nasri Abdul Qohar Maulana Manshur Ruddin Banten, bin Sultan Agung Abul Fatih Abul Fatah, Tirtayasa Banten, bin Sultan Abul Ma’ali Achmad Kanari, bin Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qodier, bin Muhammad Asiruddin Pangeran Ratu Banten, bin Sultan Maulana Yusuf, Sultan Hasanuddin Banten, bin Syarief Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Cirebon. Silsilah lengkap beliau dari garis Sunan Gunung Jati ini sampai kepada Rasulullah SAW.
Silsilah Dari Sultan Banten
Nabi Muhammad SAW
Fatimah Az-Zahro
Al-Husain putra Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad
Al-Imam Sayyidina Hussain
Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin
Sayyidina Muhammad Al Baqir
Sayyidina Ja’far As-Sodiq
Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
Sayyid Muhammad An-Naqib
Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
Sayyid Alawi Awwal
Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
Sayyid Alawi Ats-Tsani
Sayyid Ali Kholi’ Qosim
Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India)
Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan
Sayyid Ahmad Shah Jalal Ahmad Jalaludin Al-Khan
Sayyid Syaikh Jumadil Qubro  Jamaluddin Akbar Al-Khan
Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan  ‘Ali Nurul ‘Alam
Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah Al-Khan
Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah Al-Khan
Memilih Jalur Dakwah
Pangeran Fadlluddin atau Mbah Muhammad Djalalain adalah putra keEmpat dari sepuluh bersaudara Sultan Hajji Abun Nasri Abdul Qohar Maulana Manshur Ruddin Banten. Kesepuluh putra- putri beliau adalah: 1. Adipati Ishaq, Sultan Abul Fadhol, 2. Sultan Abul Machasin Zainul Abidin.  3. Pangeran Muhammad Thohir Tasmiddin atau Kyai Muchtar, 4. Pangeran Fadlluddin Samiluddin atau Syech Muhammad Djalalain, 5. Pangeran Dja’faruddin Syaifuddin,  6. Pangeran Muhammad ‘Alim Syamsuddin,  7. Nyai Ratu Rochimah,  8. Nyai Chamimah, 9. Ksatrian Muhammad Sholeh dan 10.  Nyai Ratu Mumby
Dari kesepuluh putra-putri beliau, dua orang memilih meneruskan kesultanan Banten dan delapan orang memilih menjadi ulama’ untuk menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1773, kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Abul Mafakhir Muhammad ‘Aliyuddin, beliau bersama kakak dan adik-adiknya meninggalkan Banten dan pergi ke arah Timur. Dalam perjalanan selama 4 tahun ini,  akhirnya sampai di suatu tempat yang sampai sekarang dikenal dengan Desa Tebusaren, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ketika Mbah Muhammad Djalalain meninggalkan Banten beliau disertai oleh ketiga putranya yaitu Haji Arief, Tubagus Kidam dan Tubagus Djakram, serta seorang cucunya bernama Nyai Sarinten binti Tubagus Kidam.
Pada akhir tahun 1777, Pangeran Muhammad  Thohir menugaskan 3 (tiga) orang adiknya yaitu Pangeran Dja’faruddin, Pangeran Fadlluddin ( Mbah Muhammad Djalalain ) dan Pangeran Muhammad ‘Alim untuk berdakwah menyebarkan agama Islam dan membagi  wilayah dakwahnya.  Pangeran Dja’faruddin ke daerah Timur ( Pasuruan dan sekitarnya),  Pangeran Fadlluddin / Mbah Muhammad Djalalain ke daerah Malang dan Pangeran Muhammad ‘Alim akhirnya mengikuti kakaknya ke Malang
Akhirnya pada tahun 1779 Pangeran Fadlluddin ( Mbah Muhammad Djalalain ) menetap di Kasin, Kota Malang. Salah satu diantara murid beliau ialah Kanjeng Surgi Bupati Malang, yang dikenal sampai sekarang dengan sebutan Ki Ageng Gribig.
Mbah Muhammad Djalalain wafat pada tahun 1821 dan dimakamkan tepat di belakang Masjid Al-Mukarromah Kasin Malang. Wallahu'alam bishowab



Sheikh Fadhil Banten, Rujukan Istana Johor

Sheikh Fadhil Banten atau Syeikh Kiyai Haji Fadhil bin Haji Abu Bakar al-Banten dilahirkan di Banten, Jawa Barat sekitar tahun 1287 Hijrah/1870 Masihi dan meninggal dunia di Bakri, Muar, Johor pada 29 Jamadilawal 1369 Hijrah/18 Mac 1950 Masihi, dikebumikan di Batu 28 Langa, Muar.Sebelum riwayat ini diteruskan, dirasakan perlu menjelaskan nama `Banten' kerana ada orang memperkata bahawa ulama yang diceritakan ini berasal dari `Bentan'. Hal ini terjadi hanyalah kerana ada orang yang tidak dapat membezakan antara Banten dengan Bentan. Banten, kadang-kadang disebut juga dengan Bantan, kadang-kadang Bantam. Banten pada zaman dulu mempunyai kerajaan sendiri. Setelah Indonesia merdeka ia dimasukkan ke dalam Propinsi Jawa Barat dan setelah reformasi, menjadi propinsi sendiri yang dinamakan Propinsi Banten.Ada pun Bentan adalah sebuah pulau di Kepulauan Riau, yang kedua terbesar sesudah Pulau Natuna. Bentan sangat penting dalam sejarah dan geografi, sama ada zaman kerajaan Melaka mahu pun zaman pembentukan kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang dan takluknya, zaman Riau-Johor dan terakhir sekali menjadi Riau-Lingga.Ulama yang dikisahkan ini berasal dari Banten bukan dari Bentan. Banten memang ramai melahirkan ulama yang terkenal, antara yang terkenal di seluruh dunia Islam ialah Syeikh Nawawi al-Bantani yang diakui oleh dunia Islam dengan gelar Imam Nawawi ats-Tsani (Imam Nawawi yang ke-2). Sedang dari Bentan hingga kini belum diketahui nama ulamanya, yang ada hanyalah ulama Riau yang berasal dari pulau-pulau lainnya. Antara ulama Riau yang mengajar di Mekah peringkat guru pada Fadhil ialah Syeikh Ahmad bin Muhammad Yunus Lingga.

Pendidikan


Selain mendapat pendidikan dari kalangan keluarga sendiri, Fadhil juga memasuki pelbagai pondok pengajian di Banten. Sekitar usia tiga puluhan, barulah beliau melanjutkan pendidikannya di Mekah. Sewaktu masih berada di Banten lagi, Fadhil telah mengenal beberapa thariqat yang berada di Banten, antaranya ialah Thariqat Qadiriyah yang tersebar di seluruh Jawa yang dibawa oleh murid-murid Syeikh Ahmad Khathib bin Abdul Ghaffar Sambas (lahir 1217 Hijrah/ 1802 Masihi, wafat 1289 Hijrah/1872 Masihi). Salah seorang khalifahnya yang paling terkenal, yang berasal dari Banten ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani (wafat 18 Safar 1315 Hijrah/19 Julai 1897 Masihi). Thariqat Naqsyabandiyah yang tersebar di Banten juga berasal daripada ulama Sambas tersebut melalui Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Oleh itu dipercayai bahawa Fadhil telah ditawajjuh dengan kedua-dua thariqat tersebut oleh Syeikh Abdul Karim al-Bantani, ulama Banten yang sangat terkenal itu. Setelah berada di Mekah, Fadhil menerima pula Thariqat Tijaniyah, walau bagaimana pun tidak jelas daripada siapa beliau menerima thariqat itu. Selain belajar, di Mekah beliau membantu saudara sepupunya Hajah Halimah mengurus jemaah haji.

Datang Ke Johor

Penghulu Mukim Langa bernama Haji Daud sangat tertarik pada keperibadian, keilmuan dan kerohanian yang ada pada Fadhil, maka penghulu itu berusaha memujuk ulama yang berasal dari Banten ini supaya datang ke Johor. Akhirnya hasrat Daud tercapai juga. Maka dalam tahun 1915 Masihi, Fadhil Banten sampai di Johor. Beliau mengajar di Kampung Langa, Muar. Selain pelbagai ilmu Islam yang asas seperti fardu ain, Fadhil lebih menekankan Wirid Khaujakan atau Khatam Khaujakan yang sangat terkenal dalam ajaran Thariqat Qadiriyah dan Thariqat Naqsyabandiyah.Fadhil melebarkan sayap dakwahnya bukan hanya di Kampung Langa tetapi juga termasuk dalam Bandar Maharani (Muar), Bakri, Bukit Kepong dan tempat-tempat lainnya. Pendek kata banyak surau dan masjid yang menjadi tempat beliau mengajar. Ajaran beliau dapat diterima oleh semua pihak termasuk Sultan Johor.

Sultan Johor Mohon Pertolongan

Perang dunia kedua meletus antara tahun 1939 hingga tahun 1945. Dalam masa darurat itulah Sultan Ibrahim, Sultan Johor merasa perlu menyelamatkan Kerajaan Johor, termasuk diri peribadi dan keluarganya dengan apa cara sekali pun. Atas nasihat beberapa insan yang arif, baginda mendekati seorang ulama sufi yang sangat mustajab doanya. Ulama yang dimaksudkan Syeikh Fadhil. Beliau tidak perlu didatangkan dari luar kerana beliau memang telah bermustautin di Johor. Baginda menitahkan Datuk Othman Buang, Pegawai Daerah Muar ketika itu untuk mencari dan menjemput ulama sufi itu datang ke istana baginda. Hajat Sultan Ibrahim itu dipersetujui oleh Syeikh Fadhil, namun walaupun sultan telah menyediakan sebuah rumah dekat dengan istana di Pasir Pelangi tetapi beliau lebih suka tinggal di Masjid Pasir Pelangi. Pada waktu malam beliau hadir di sebelah bilik peraduan Sultan Ibrahim membaca wirid untuk menjaga keselamatan sultan. Walau bagaimana pun untuk lebih mudah melakukan pelbagai amalan wirid dan munajat kepada Allah, beliau memilih masjid yang lebih banyak berkatnya dari rumah. Oleh itu Fadhil lebih banyak melakukannya di dalam masjid. Akhirnya Sultan Ibrahim memperoleh ketenangan jiwa kerana keberkesanan dan keberkatan doa Syeikh Fadhil. Selanjutnya perang dunia kedua selesai dan baginda memberikan anugerah kepada ulama sufi tersebut. Ustaz Haji Ahmad Tunggal dalam bukunya menyebut, ``Sultan telah menganugerahkan pangkat kepada Haji Fadhil, iaitu ia dilantik sebagai Mufti Peribadi Sultan. Jawatan ini berbeza dengan Mufti Kerajaan. Mufti Peribadi adalah bertanggungjawab kepada sultan. Ia memberi nasihat dan fatwa jika dikehendaki oleh sultan.''Selain anugerah yang berupa kedudukan itu, Sultan Ibrahim juga membiayai Fadhil dan isterinya menunaikan ibadah haji, dan memberikan hadiah-hadiah yang tidak terkira besar dan banyaknya. Sumbangan yang tiada terhingga besarnya kepada Sultan Ibrahim ialah beliau telah membuka pintu kebebasan seluas-luasnya kepada Kiyai Syeikh Fadhil untuk menubuhkan kumpulan-kumpulan Wirid Khaujakan di seluruh Kerajaan Johor tanpa sebarang halangan. Berdasarkan tulisan Ustaz Haji Ahmad Tunggal, peringkat awal pembentukan kumpulan tersebut di Pontian diketuai oleh Haji Ahmad Syah. Di Batu Pahat oleh Kiyai Saleh. Di Muar oleh Haji Abdul Majid dan di Mersing oleh Haji Siraj bin Marzuki.

Keturunan dan Murid

Daripada isteri yang pertama, Syeikh Fadhil memperoleh empat orang anak; seorang lelaki dan tiga perempuan. Anak lelakinya ialah Orang Kaya Penghulu Haji Abdul Hamid. Setelah isteri pertamanya meninggal dunia, beliau pindah ke Bandar Muar dan berkahwin lagi dengan seorang janda beranak dua. Kedua-duanya ialah Haji Othman bin Haji Azhari dan Haji Ali bin Haji Azhari yang meneruskan perjuangan Syeikh Fadhil. Antara murid Syeikh Fadhil ialah Sahibus Samahah Haji Ahmad Awang yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Johor. Murid dan anak tirinya, Haji Othman Azhari, dalam buku Amalan Wirid Khaujakan dan Huraiannya, pada tahun 1994 adalah sebagai Yang Dipertua Badan Kebajikan Jamaah Khaujakan, dan ramai lagi. Daripada buku Amalan Wirid Khaujakan dan Huraiannya oleh Ustaz Ahmad Tunggal yang memperoleh pendidikan di Universiti Al-Azhar, Mesir itu banyak perkara yang dapat kita ketahui. Antaranya bahawa terasasnya Badan Kebajikan Jamaah Khaujakan yang sangat meluas di seluruh Johor adalah bermula daripada Syeikh Fadhil. Amalan Wirid Khaujakan masih subur dan berkesinambungan di Johor seperti juga di beberapa tempat lain di seluruh dunia Islam.Pada pandangan penulis, walaupun ada golongan anti amalan sufi yang menuduh bahawa orang-orang sufi mengamalkan perkara-perkara bidaah dan khurafat, tuduhan melulu seperti itu tidak berasas sama sekali kerana Wirid Khaujakan dan beberapa amalan golongan sufi selainnya juga bersumberkan al- Quran dan as-sunah. Mereka yang beramal dengannya bukan terdiri daripada golongan awam saja tetapi juga termasuk ulama-ulama besar terkenal yang mampu membahas al-Quran dan hadis. Ia bukan diamalkan oleh orang-orang di dunia Melayu sahaja tetapi juga di tempat-tempat dalam belahan dunia. Penulis tidak sependapat dengan beberapa pandangan yang menuduh bahawa apabila beramal mengikut sufi mengakibatkan ketinggalan dalam membina kemajuan duniawi, kerana ternyata tidak sedikit golongan sufi yang menghasilkan karya, mencetuskan pemikiran yang bernas maju, menghasilkan sesuatu pemikiran baru pada setiap zaman dan lain-lain. Kebijakan Sultan Ibrahim yang memahami keadaan zaman darurat menghadapi huru-hara perang dunia kedua yang sukar diatasi dalam bentuk zahiri semata-mata, sehingga baginda memerlukan insan takwa seperti Syeikh Fadhil, patut dicontohi oleh pemimpin-pemimpin kita masa kini dan zaman-zaman yang akan datang. Setelah kita mengetahui dalam dunia sekarang bahawa nyawa seolah-olah tiada harganya, situasi dunia yang tiada ketentuannya, termasuk dunia Melayu juga, maka patutlah umat Islam Melayu memperbanyak zikir, wirid, selawat dan lain-lain sejenisnya demi kebaikan dan ketahanan diri Muslimin dan dunia Melayu sejagat.
Sumber:
Akhbar Utusan Malaysia, ruangan Ulama Nusantara, Sheikh Fadhil Banten, Penyebar Wirid Khaujakan Di Johor karya Ustaz Wan Mohd Shaghir Abdullah


http://zulfanioey.blogspot.com/2012/09/sheikh-fadhil-banten-rujukan-istana.html

Syaikh Djamaluddin Assegaf Puang Ramma

Tanggal 1 Juni 2013 kemarin telah diselenggarakan dengan sukses Haul yang ke-7 Anre Gurutta KH. Syaikh Djamaluddin Assegaf Puang Ramma di Masjid Raya Makassar, Sulawesi Selatan. Siapa sebenarnya beliau?. Berikut kami paparkan mengenai riwayat Syaikh Djamaluddin Assegaf yang kami ambil dari selebaran buletin AL-AHSAN yang dibagikan ketika kami mengunjungi Haul kemarin.
Sejarah mencatat nama KHS Djamaluddin Assegaf Puang Ramma, merupakan sosok yang tidak dapat dipisahkan dari lembaran sejarah perjalanan dakwah Islam di Sulsel. Sejak zaman perjuangan kemerdekaan hingga di era reformasi, sosoknya sebagai ulama yang agung dan ulama yang dituakan tetap melekat pada dirinya.
Artinya, sepanjang perjalanan sejarah bangsa ini, mulai dari zaman perjuangan kemerdekaan, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) dan Reformasi, nama KHS Djamaluddin Assegaf Puang Ramma, senantiasa menyertai aktivitas keagamaan masyarakat (Islam) di deaerah ini. Betapa tidak, jauh sebelum bertumbuh kembangnya organisasi besar keagamaan Islam di Indonesai seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Perserikatan Muhammadiyah, di Sulsel, kiyai yang lahir di "Butta Turikale" Kabupaten Maros 1920, yang akrab disapa Puang Ramma ini, telah aktif melakukan dakwah di berbagai tempat di Sulsel.  
Dari catatan yang kami peroleh, KHS Djamaluddin Assegaf Puang Ramma, termasuk salah seorang pendiri NU Sulsel. Dia juga termasuk tokoh politik, pendidik dan budaya Sulsel.
Besar kecilnya peran Puang Ramma yang telah dimainkan semasa hidupnya selaku penda'wah. Sejumlah warga mengakui bahwa sosok Puang Ramma, yang wafat tahun 2006 lalu, banyak memberikan pemahaman tentang Islam, meski pada zamannya dahulu, banyak berbenturan dengan berbagai tantangan, termasuk kondisi umat Islam pada waktu itu yang belum memahami nilai-nilai keesaan Allah SWT dan tradisi yang masih kental.
Ketika karier sebagai pendakwah belum menjadi profesi yang banyak dilirik orang, Puang Ramma tampil memposisikan diri sebagai pendakwah yang siap berhadapan dengan problematikan saat itu.
Dengan semangat keihlasan yang dimiliki dan semangat untuk lebih memahamankan Islam kepada umatnya, Puang Ramma, tidak mengenal kata lelah dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, bukan hanya melayani umat di dalam wilayah Kota Makassar, tetapi sampai ke pelosok daerah di Sulsel. Makanya tidak mengherankan jika hingga saat ini banyak ditemukan foto almarhum di rumah-rumah penduduk, di pelosok pegunungan di Sulsel.
Singkatnya, dalam menjalankan dakwah Islam, Puang Ramma, mampu menerobos daerah "hitam" dan "lontang" (tempat masyarakat mi- numam-minuman keras, khususnya ballo/arak).
Dan hasilnya dapat dirasakan hi¬ngga saat ini, bahwa kehadiran sosok Puang Ramma ke pentas dakwah, telah menghantarkan pemahaman pemasyarakat terhadap dunia Islam, yang alhamdulillah kita rasakan hingga ke area peradaban yang serba modern saat ini.
Tidak salah jika Puang Ramma, adalah benang merah perjalanan dakwah di Indonesai. Tentunya situasi¬nya saat ini telah berbeda dengan warna generasi yang baru pula. Dan dari pondasi dasar dakwah yang telah dicanangkannya itu pemahaman Islam generasi saat diharapkan pada tingkat yang lebih mapan lagi .
Lantas apa kiat dakwah yang diterapkan Puang Ramma, dalam menjalankan misi keagamaan yang diembannya kala itu.
Putra Puang Ramma, Syekh Sayyid Abdur Rahim Assegaf Puang Makka, yang ditemui di kediamannya di Jalan Baji Bicara No 7 Makassar, memaparkan teknik dakwah yang diterapkan ayahandanya tersebut.
Syekh Sayyid A Rahim Assegaf, yang akrab disapa Puang Makka, menguraikan bahwa petunjuk yang dipakai almarhum Puang Ramma dalam melaksanakan dakwah, berdasarkan tuntunan Allah SWT, sebagaimana yang disampaikan di dalam kitab suci Al-qur'an Surah Annahl (surat ke 16) ayat 125.
Dalam ayat ini lanjut Puang Makka, bahwa Allah SWT mengajari hambanya tata cara berdakwah yakni dengan jalan hikmah dan khasanah, sebagaimana arti ayat tersebut yang berbunyi" Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan 'hikmah', dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara Ahsan. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dan dialah (Allah) yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk".
"Dari kedua konsep ajaran Tuhan itulah Puang Ramma, mampu menerobos daerah hitam dan lontang, dalam menyebarluaskan dakwah Islam, di tengah masyarakat yang masih terkebelakang pendidikan dan wawasan keagamaan" tutur Puang Makka.
Satu catatan yang patut menjadi perhatin dari aktivitas dakwah yang dilaksanakan Puang Ramma, berada pada suatu realitas yang sangat memprihatinkan, selain karena latar belakang sasaran dakwah yang masih terkebelakang, juga diperhadapkan pada situasi medan yang masih sulit dijangkau. Hanya denga niat yang kuat kesemua tantangan dakwah dapat dilewati.
Namun demikian lanjut Puang Makka, berdasarkan al-Qur'an Surat Annahl ayat 125, Puang Ramma mampu melakukan pendekatan se¬cara persuasif tanpa menghilangkan nilai-nilai ajaran Islam yang substansif.
Dengan pendekatan "Bil Hikmah" dan "Khasanah", umat yang dihadapi melalui dakwah Puang Ramma, tidak merasa terbebani dan tidak merasa berat menjalankan syariat Islam, khususnya shalat, lima kali sehari semalam.
"Konsep ini membuat Puang Ramma, lebih lembut, ramah dan lebih santun menghadapi umat pada zamannya dan turut memberikan contoh tingkah laku dari ajara agama yang diajarkan. Ini yang terkadang te¬rabaikan oleh pendakwah, di era kekinian,"kata Puang Makka.
Dan menambahkan dengan konsep khasanah, perbedaan pendapat Puang Ramma dengan pihak lain dalam menjalankan dakwah dihadapinya dengan sopan santun. Perbedaan pendapat pada waktu itu, tidak disikapi dengan kekerasan dikarenakan adanya tuntunan dari Allah SWT, bahwa di dalam melakukan perdebatan haruslah dengan cara Ahsan (cara yang baik).
Keluwesan Puang Ramma menjalankan dakwah, dikarenakan basic ajaran yang dipahaminya begitu dalam. Artinya, sebelum melaksanakan aktivitas dakwah, Puang Ramma, begitu dalam totalitasnya dalam mempelajar ajaran Islam.
Hal tersebut sesuai perintah Al- Qur'an agar umat Islam memasuki Islam secara keseluruhan. Kedalaman pemahaman terhadap ajaran Islam yang diperolehnya saat nyantri di Pulau Salemo, menghantarkannya mampu menukik ke dasar ajaran Islam, sehingga dakwah yang dilakukannya memberikan solusi terhadap problematika umat.
"Kedalaman pemahaman terhadap ajaran Islam inilah yang membuat dakwah Puang tidak kering, dan mampu berakselerasi dengan per¬kembangan zaman, mulai dari era perjuangan kemerdekaan, hingga memasuki awal-awal reformasi," kata Puang Makka.
Kedalaman pemahaman terhadap ajaran Islam, membuatnya mampu melakukan pendekatan terhadap tiga pilar agama yang mulia ini, yakni Islam, Iman dan Ikhsan. Pemahaman Islam dihadapi dengan ilmu fiqhi, Iman dihadapi dengan ilmu qalam dan Ikhsan dilakukan dengan pendekatan ilmu ahlak atau tasawuf.
Bagi puang dalam melaksanakan dakwah senantiasa mendahulukan ahlak yang mulia, sehingga dakwahnya dengan mudahnya diterima masyarakat. Begitu pentingnya ahlak yang mulia ini, Syekh Yusuf yang di¬kenal dengan Hianta Salamaka, menegaskan barang siapa yang tidak berahlak berarti tidak ada tasawuf baginya. "Inilah salah satu konsep dakwah yang dimiliki Puang Ramma.(*)



Sheikh Daud Abdullah al Fathani

Beliau yang lebih dikenali dengan panggilan Tok Syeikh Daud Patani adalah al-Alim Allamah al-Arif ar-Rabbani Syeikh Wan Daud bin Syeikh Wan Abdullah bin Syeikh Wan Idris (juga dikatakan Wan Senik) al-Fathani. Ibunya bernama Wan Fathimah anak Wan Salamah bin Tok Banda Wan Su bin Tok Kaya Rakna Diraja bin Andi (Faqih) Ali Datok Maharajalela bin Mustafa Datu Jambu (Sultan Abdul Hamid Syah) bin Sultan Muzaffar Waliullah bin Sultan Abu Abdullah Umdatuddin. Beliau mempunyai lima beradik iaitu Syeikh Wan Abdul Qadir, Syeikh Wan Abdul Rasyid, Syeikh Wan Idris dan seorang adik perempuan namanya Siti Khadijah bin Abdullah al-Fathani.

Menurut catatan koleksi Allahyarham Tuan Guru Wan Mohd Shaghir Abdullah bahawa Syeikh Daud al-Fathani adalah keturunan Faqih Ali. Rujukan asal yang mengatakan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani berketurunan Faqih Ali diperolehi tulisan Nik Mahmud Perdana Menteri Paduka Raja Kelantan iaitu:“Syahdan dan pada suatu masa bulan sedang mengambang di tepi langit, tersebutlah cerita anak raja Bugis lari daripada saudaranya menumpang sebuah bahtera sampai ke Johor dan tumpang duduk berkirim diri rumah Laksamana Kota Tinggi, dipanggil Andik Ali.


“Tatkala Laksamana memandang kepadanya berasalah kasihan belas dan dipeliharanya sebagai anak angkatnya sendiri. Tidak berapa tahun kemudian diperjodohkan dengan anaknya Wan Tija. Tidak berapa lama selepas itu Andik Ali serta dengan isterinya pun beredar ke Patani menumpang di rumah Mekong Damit Kampung Bira pada tahun 1049 H.

“Maka kerana lemah lembut tingkah lakunya dan berpelajaran orang di Patani memanggilnya Faqih Ali. Di situ ia beristeri kepada Ce' Dewi anak Sri Biji Diraja. Baginda sampai di Patani kira-kira tahun 1637 M”.

Syeikh Daud al-Fathani dilahirkan di Kampung Parit Marhum, Kerisek, Patani. Kota Kerisek ini terkenal dalam sejarah kerana di sinilah Maulana Malik Ibrahim iaitu salah seorang Wali Songo pernah tinggal dan mengajar, sebelum berpindah ke Jawa Timur.

Tahun kelahirannya tidak dapat dipastikan kerana terdapat perselisihan pendapat di kalangan penyelidik mengenainya. Dalam catatan-catatan beberapa keluarga penulis yang ada hubungan dengan beliau, ada yang mencatat tahun 1133 H, 1153 H dan tahun 1183 H.

Ilmu pengetahuan 


Ayah Sheikh Daud iaitu Sheikh Wan Abdullah dan datuknya Sheikh Wan Idris adalah ulama besar untuk zamannya. Sejak kecil Sheikh Daud al-Fathani ditanam dan dididik dengan ajaran Islam oleh datuk dan ayahnya.

Tambahan pula menjadi tradisi zaman itu di Patani sentiasa diperkenalkan Islam sejak kanak-kanak lagi. Anak-anak yang berumur lima atau enam tahun dipaksa supaya menghafal pengetahuan mengenal Allah (ilmu tauhid), dan seterusnya diberi pelajaran nahwu dan sharaf juga secara menghafal. Syeikh Daud al-Fathani telah melalui kesemua sistem pendidikan tradisional yang ada di Patani pada ketika itu.

Pada peringkat awalnya Syeikh Daud berguru dengan kaum keluarganya sendiri yang memang terkenal alim. Seorang daripada mereka ialah bapa saudaranya, Sheikh Shafiyuddin.
Ada yang berpendapat bahawa Sheikh Daud al-Fathani menerima pelajaran asasnya di Patani selama lima tahun, kemudian ke Aceh belajar dengan Sheikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin al-Asyi selama dua tahun. Sheikh Muhammad Zain al-Asyi adalah seorang ulama terkemuka di Kesultanan Aceh.

Namun yang dapat dipercayai bahawa Sheikh Daud al-Fathani dan kawan-kawannya telah belajar di Mekah selama 30 tahun dan lima tahun di Madinah. Disebabkan masa belajar yang lama itu beliau digelar al-Alim Allamah al-Arif ar-Rabbani.

Setelah demikian lama beliau menuntut ilmu pengetahuan, maka beliau pulang ke Patani untuk menyebarkan ilmu pengetahuan di negeri tumpah darah sendiri. Namun timbul krisis peperangan antara Patani dengan Siam pada ketika itu. Diriwayatkan bahawa beliau melibatkan diri dalam peperangan itu, terjun secara langsung di gelanggang jihad fi sabilillah.

Apabila terjadi peperangan tersebut, akhirnya beliau kembali ke Mekah bersama-sama beberapa pelarian politik. Sampai di Mekah, beliau dilantik menjadi Ketua Sheikh Haji dan beliau adalah orang pertama dilantik secara langsung sebagai ketua. Beliau juga melibatkan diri dengan penulisan yang merupakan hobi beliau, di samping mengajar di Masjidil Haram. Karangannya dalam dua bahasa iaitu bahasa Melayu dan bahasa Arab.

Karangan beliau dalam bahasa Arab tidak banyak tersebar di Asia Tenggara. Adapun dengan bahasa Melayu tersebar secara meluas, walaupun di zamannya masih merupakan kitab tulisan tangan sahaja kerana belum ada yang bercetak.

Dalam beberapa karyanya, beliau mengupas masalah-masalah keilmuan. Antara lain tulisan beliau: Maka lazimkan olehmu hai saudaraku dengan menuntut ilmu yang fardu ain yang wajib atasmu. Belajar akan dia pada syarak supaya engkau dapat sahkan iktikad kamu dan ibadat kamu. Dan supaya sejahtera daripada seksanya. Dan supaya engkau akan dapat pahala, keredaan dan kasihnya”.

Pada mukadimah karyanya Bughyatuth Thullab, beliau menulis, ertinya “Dan adapun kemudian daripada itu maka bahawasanya beberapa nafas yang cerdik-cerdik yang menuntut bagi beberapa martabat yang tinggi-tinggi sentiasa perangainya itu di dalam menghasilkan beberapa ilmu syarak.

Beliau juga membuat penafsiran dalam beberapa hadis. Antaranya hadis berikut, “Sedikit Fiqhi itu lebih baik daripada banyak ibadat” yang ertinya: “Barang siapa belajar ilmu dan tiada berkehendak dengan dia akan wajah Allah s.w.t., tiada kerana-Nya melainkan supaya mengena dengan dia akan kehendaknya daripada dunia tiada akan bilik syurga yang ke atas pada hari kiamat”.

Beliau mengulas tentang hadis-hadis tersebut dalam Bughyatuth Thullab seperti berikut: “Maka dapat difahami hadis ini, tiada dipuji daripada kelebihan ilmu itu melainkan jikalau ada qasadnya dan tuntutnya itu berkehendak dengan dia akan wajah Allah s.w.t. dan berkehendak ia mengeluarkan dirinya daripada kelam kabut jahilnya kepada Nur ilmu.

“Maka jika ada qasadnya akan dunia seperti harta atau kebesaran atau gelaran atau kemegahan atau masyhur atau melengkapi muka manusia kepadanya dan lainnya maka iaitu dicela seperti barang yang tersebut pada hadis itu”.

Menurut beliau lagi: “Maka tatkala adalah kelebihan ilmu demikian itu maka sebenarnya bahawa tiap-tiap orang yang kasih bagi dirinya kebajikan maka hendaklah ia ijtihad atas qadar kuasa pada menghasilkan dia, kadang-kadang mengaji, kadang-kadang mengajar, kadang-kadang menunjukkan orang yang jahil satu bab daripada masalah memberi manfaat pada agama istimewa pula jikalau lebih lagi”.

Daripada kalimat-kalimat beliau itu dapatlah kita fahami bahawa seseorang Islam yang bertanggungjawab adalah terlebih dahulu memberikan pendidikan agama Islam kepada anak-anaknya. Ini adalah merupakan kewajipan agama Islam.

Adapun pendapat Sheikh Daud al-Fathani bahkan ulama-ulama di zaman lampau lebih terikat dan menitikberatkan pendidikan Islam berbanding pendidikan lainnya. Menurut Islam, yang utama dipelajari ialah belajar akan memberi faham dua kalimah syahadat, wajib taharah (bersuci), solat, puasa, hukum zakat, hukum berjual-beli menurut Islam dan lain-lainnya, semuanya telah diatur dalam fikah Islam.

Sheikh Daud al-Fathani dalam Bughyatuth Thullab berkata:
 “Selagi seseorang masih tidak mengerti akan seluk belok tentang keIslaman, maka seseorang itu tetap masih jahil, walau pengetahuan lain masih dikuasai demikian rupa”.

Salasilah keilmuan Syeikh Daud al-Fathani 

SETELAH selesai membicarakan salasilah Sheikh Daud al-Fathani mengenai asal-usul keturunannya, pendidikannya dan kewafatannya, maka penulis bicarakan pula tentang guru-guru dan murid-muridnya. Sheikh Daud al-Fathani belajar daripada ramai guru-guru dalam pelbagai bidang. Beliau juga menurunkan ramai murid-murid yang menjadi ulama dan tokoh terkenal di Alam Melayu.

Guru-gurunya 

Dipercayai bahawa Sheikh Daud al-Fathani mendapat pendidikan dasar keislaman dimulai dari lingkungan keluarga sendiri. Ayah dan datuknya adalah ulama besar yang bertanggungjawab dalam pendidikannya.Ada orang meriwayatkan bahawa Sheikh Daud al-Fathani pernah belajar di Aceh sekitar dua tahun. Dalam manuskrip nombor 486 yang tersimpan di Pusat Islam Malaysia (Kuala Lumpur) ada menyebut bahawa Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani mengambil ijazah muqaranah daripada Sheikh Muhammad Zain Aceh. Bererti tentunya Sheikh Daud al-Fathani juga belajar dengan Sheikh Muhammad Zain. Sheikh Muhammad Zain adalah penyusun kitab Bidayat al-Hidayat, Kasyf al-Kiram dan lain-lain. Nama pada kitab karya-karyanya ialah Sheikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin al-Asyi.

Ketika melanjutkan pelajarannya di Mekah, Sheikh Daud al-Fathani mendekati para ulama Patani yang telah bermastautin di Mekah. Di antara ulama Patani yang telah diiktiraf dan dibolehkan mengajar di Masjidil Haram ialah Sheikh Muhammad Shaleh bin Abdur Rahman al-Fathani. Beliau adalah seorang tokoh ulama Ahli Syari'at dan Haqiqat yang lebih banyak terjun ke dunia kesufian. Kepadanya Sheikh Daud al-Fathani banyak memperoleh ilmu terutamanya ilmu kesufian.

Membai’ah

Dalam salasilah berasal dari tulisan Sheikh Ismail bin Abdul Lathif Pontianak (lebih dikenali dengan nama Haji Ismail Jabal) yang salasilah itu sekarang ada pada salah seorang muridnya seorang ulama Pontianak bernama Haji Abdur Rani Mahmud, bahawa Sheikh Daud al-Fathani belajar kepada Sheikh Ali bin Ishaq pada bidang Tarekat Samaniyah. Akan tetapi pada bidang Thariqat Syathariyah pula adalah sebaliknya, iaitu Sheikh Daud al-Fathani telah membai'ah Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani. Jadi bererti Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani adalah murid Sheikh Daud al-Fathani, bukan guru beliau.Daripada dua sumber yang bertentangan itu, penulis (Haji Wan Mohd Shaghir - HWMS)berpendapat bahawa sebelum Sheikh Daud al-Fathani menjadi seorang ulama besar, mungkin saja beliau belajar kepada Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani. Riwayat yang lain pula dikatakan bahawa Sheikh Daud al-Fathani belajar langsung kepada Sheikh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani penegak/pelopor Tarekat Samaniyah.

Tentang ia belajar kepada Syeikh Muhammad bin Abdul Karim Samman itu telah penulis (HWMS) bicarakan dalam buku penulis(HWMS) berjudul Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani, juga buku penulis berjudul Perkembangan Ilmu Fiqhi dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara. Berkemungkinan kerana Sheikh Daud al-Fathani yang termuda, lebih muda pula dari sahabatnya Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani, maka beliau merasa perlu mendapat didikan dan bimbingan dari yang lebih tua.

Namun Sheikh Daud al-Fathani belajar terus secara rutin sehingga ia menjadi seorang yang berkebolehan dalam banyak bidang, maka tidak mustahil sahabatnya yang jauh lebih tua daripadanya kembali belajar kepadanya. Kejadian seperti tersebut ini adalah lumrah dalam dunia pendidikan.Sheikh Daud al-Fathani memang memang belajar kepada banyak guru. Berbagai aliran mazhab dan aliran iktikad dan kepercayaan yang dipelajari.

Pegangan tetapnya tidak berganjak menurut tradisi nenek moyangnya iaitu Mazhab Syafi’e dalam Fiqh dan mengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam iktikad. Beliau tetap tidak berani mengambil jalan keluar supaya dalam Islam ini mesti melepaskan diri dari Mazhab Syafie ataupun tidak mengikat diri dari fahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah walaupun pengetahuan beliau dalam segala bidang sangat mendalam.

Pengetahuannya yang menyeluruh lengkap bukan hanya di bidang Islam sahaja, tetapi termasuk pengetahuan umum dan pengetahuan duniawinya. Ilmu kedoktoran, dikuasainya juga ilmu kedoktoran walaupun beliau tidak menjadi seorang doktor. Beliau juga mendalami ilmu hisab dan ilmu falak.

Sungguhpun beliau bukan seorang ahli politik, tetapi beliau bukanlah seorang yang mudah dipengaruhi oleh ideologi politik yang menang di zamannya. Beliau tetap merupakan seorang ulama yang berideologi Islam sebagai dasar negara. Secara asasnya, tentang teori dan praktik zikir dalam Tarekat Syathariyah Sheikh Daud al-Fathani telah menerima bai’ah dari Sheikh Mursyidnya, yang diakui sebagai ulama Sufi yang 'Arif Billah iaitu Sheikh Muhammad As’ad. Salasilah mengenai Tarekat Syathariyah ini secara lengkapnya ada disebutkan di dalam naskhah tulisan tangan beliau sendiri iaitu Kaifiyat Khatam Quran.

Mengenai salasilah Tarekat Samaniyah mulai dari Sheikh Daud al-Fathani yang diikuti Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani, Sheikh Muhammad Saleh bin Abdur Rahman al-Fathani, Sheikh Abul Hasan dan Maulana Sheikh Hasib mungkin hidup segenerasi dan dapat menemui Sheikh Muhammad Karim Saman secara langsung. Ada pun tentang penerimaan bai’ah tarekat boleh saja dibai’ah oleh murid yang lebih tinggi darjatnya atau lebih tua umurnya dengan syarat ada pelantikan Sheikh Mursyid sebagai khalifahnya. Salasilah lengkap Tarekat Samaniyah Sheikh Daud al-Fathani ini tertulis dalam kitab Siyarus Salikin karangan Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani.Adapun mengenai sanad Ilmu Tauhid/Usuluddin hingga sampai kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, keterangannya adalah sebagai yang berikut.

Bahawa Sheikh Daud al-Fathani masih sempat menemui tahun-tahun kehidupan seorang ulama besar Mazhab Syafi’e yang menjadi Mahaguru di Universiti al-Azhar di Kaherah, Mesir, yang terkenal dengan sebutan Imam Syarqawi (1150 H- 1227 H). Ulama mazhab Syafie itu banyak murid-muridnya. Seorang di antaranya bernama Sheikh Muhammad bin Ali as-Syanwani yang sangat popular dengan Imam as-Syanwani saja.

Bahawa beliau adalah sezaman dengan Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Tarekat Syazaliyah, dari versi lain mengenai Ilmu Usuluddin ini, terkenal lagi dengan nama seorang Imam besar yang disebut Imam Abu Manshur al-Maturidi. Bahkan salasilah Sheikh Daud al-Fathani sampai kepada imam besar tersebut. Salasilah lengkap mengenai sanad Ilmu Tauhid/Usuluddin daripada kedua-dua Imam besar yang disebutkan di atas tidak disentuh, tetapi telah disebut dalam buku berjudul Sheikh Daud bin Abdullah al-Fatani: Ulama dan Pengarang Terulung Asia Tenggara.Pertalian salasilah Tarekat Syazaliyah adalah sebagai berikut iaitu Sheikh Wan Daud bin Abdullah al-Fathani belajar kepada Sheikh Muhammad Saleh bin Ibrahim, ketua Mazhab Syafi’e di Mekah (wafat pada 1226 H) dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan termasuk Tarekat Syazaliyah.

Susunan salasilah lengkapnya tidak penulis senaraikan, tetapi disebut juga dalam buku berjudul Sheikh Daud bin Abdullah al-Fatani: Ulama dan Pengarang Terulung Asia Tenggara.Sebilangan besar pula pernah penulis bicarakan mengenai riwayat hidup mereka sama ada dalam artikel ini mahupun buku-buku tulisan penulis sendiri. 

Ketokohan Sheikh Daud al-Fathani dalam bidang fiqh diperakui oleh semua ulama di Asia Tenggara yang memahami dan mengkaji sejarah Islam di rantau ini. Demikian juga ketokohannya dalam bidang usuluddin, tauhid dan ilmu kalam yang kiranya tidak perlu dijelaskan lagi. 

Ketokohan Dalam Bidang Tasauf dan Tarekat
Ketokohan beliau dalam bidang tasauf serba ringkas telah disentuh penulis (HWMS) sebelum ini. Juga dibicarakan dengan mendalam dalam buku berjudul Perkembangan Ilmu Tasauf (Jilid 1). Namun begitu, masih belum dianggap lengkap dan sempurna sekiranya tidak dibicarakan ketokohannya dalam orde Tarekat Syathariyah, yang mana adalah salah seorang Sheikh Mursyid Kamil Mukammilnya.

Setahu penulis (HWMS) bahawa di Asia Tenggara tercatat dua orang sahaja ulama tokoh besar orde tarekat ini yang terkenal. Mereka ialah Sheikh Abdur Rauf al-Fanshuri dan Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Murid Sheikh Abdur Rauf al-Fanshuri bernama Sheikh Burhanuddin Ulakan menyebarkan Tarekat Syathariyah itu ke Pariaman, Minangkabau.

Bahawa pada suatu masa dahulu tarekat ini pernah memegang peranan yang terpenting dalam dakwah Islamiah di Asia Tenggara. Bahkan ia adalah satu orde tarekat yang terbesar pengikutnya di Asia Tenggara sebelum masuknya Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

Syathariyah berkembang di Pulau Jawa, yang terbesar pengikutnya di Cirebon, Jawa Barat. Penyebarnya yang terkenal ialah Sheikh Abdul Muhyi Pamijahan, murid Sheikh Abdul Rauf al-Fansuri iaitu Sheikh Abdul Malik (Tok Pulau Manis) Terengganu, Sheikh Yusuf Tajul Khalwati, semuanya adalah murid Sheikh Abdur Rahman al-Fansuri.

Di mana sahaja Tarekat Syathariyah dikembangkan di zaman mutakhir iaitu dimulai akhir abad ke 18 hingga ke abad ini, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani tetap dikenal dan disebut namanya.

Salah seorang muridnya mengenai Tarekat ini seumpama Sheikh Zainuddin Sumbawa. Nama sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani lebih bersemi di hati umat Islam pengikut Tarekat Syathariyah di negeri-negeri di Alam Melayu, bahkan sampai-sampai ke Campa dan Burma. Salasilah tarekat ini di Asia Tenggara ini banyak bersambung dengan Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Daripada Sheikh Daud al-Fathani dikenal pula ulama besar yang berasal dari Patani sebagai khalifah-khalifah Mursyid Tarekat Syathariyah seperti Sheikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fatani, Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa al-Fatani, Sheikh Ismail bin Abdul Qadir bin Mustafa al-Fatani dan lain-lain.

Kewafatan 

Sheikh Daud al-Fathani wafat dan dimakamkan di Taif. Kuburnya bersampingan dengan kubur Saidina Abdullah bin Abbas iaitu sepupu Rasulullah s.a.w.. Tahun kewafatannya juga belum diketahui dengan pasti. Tetapi ada yang berpendapat beliau wafat sekitar tahun 1847 M, juga ada yang menyebut tahun 1265 H.

Menurut cerita ibu penulis Hajah Wan Zainab binti Syeikh Ahmad al-Fathani, beliau mendengar daripada ibunya, Hajah Wan Siti Saudah binti Abdullah bahawa jenazah beliau telah dipindahkan oleh Sheikh Nik Mat Kecik al-Fathani ke Mekah, ditanam di bawah pohon Bedara di rumahnya.Hal ini disebabkan pada zaman itu pihak Wahabi akan membongkar semua kubur yang dikeramatkan termasuk kubur Sheikh Daud al-Fathani.

Bagi penulis (HWMS), walaupun beliau telah lama meninggal dunia namun jenazahnya tidak hancur, darah masih berjalan kecuali nafas sahaja yang tiada. 

Al Fatihah !

Sumber dan rujukan:

Koleksi tulisan Allahyarham Tuan Guru Wan Mohd. Shaghir Abdullah - Khazanah Fathaniyah