Sultan
Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah adalah Sultan ke 5 Kerajaan Siak yang
juga pendiri kota Pekanbaru yang telah dirintis oleh Ayah beliau sehingga
menjadi suatu pekan (pasar) yang besar dan ramai sebagai cikal bakal berdirinya
Kota Pekanbaru saat ini
Sabtu, 26 Oktober 2013
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (Marhum Pekan)
Sultan Maulana Hasanudin
Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah berpengaruh dalam
penyebaran Islam di Banten, karna beliau adalah seorang Sultan yg pertama kali
menjadi penguasa di kerajaan Islam di Banten, beliau mendirikan Kseultanan
Banten, bahkan beliau mendapatkan gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin,
gelar tersebut di persembahkan dari kakeknya yaitu Prabu Surasowan pada masa
itu Prabu Surasowan menjabat menjadi Bupati di Banten
Sultan Maulana Hasanuddin adalah putera dari Syaikh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan),
beliau adalah seorang sultan yg mengerti akan ekonomi dan politik.
Prabu Surasowan wafat, namun kini pemerintahan banten di
wariskan kepada anaknya, yakni Arya Surajaya (Prabu Pucuk Umun), di mana pada
masa itu Arya Surajaya menganut Agama Hindu, pada pemerintahan Arya Surajaya,
Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon atas panggilan dari kepengurusan Bupati
di Cirebon, karna Pangeran Cakrabuana wafat, Lalu Syarif Hidayatullah di angkat
menjadi Bupati di Cirebon sekaligus menjadi Susuhanan Jati. Sedangkan
puteranya, Hasanuddin memilih menjadi Guru Agama Islam di Banten, bahkan beliau
di kenal memiliki banyak Santri di wilayah Banten, lalu beliau mendapatkan
gelar Syaikh menjadi Syaikh Hasanuddin.
Meskipun beliau menetap di Banten, namun beliau tetap
menjenguk sang Ayah di Cirebon untuk bersilahturahmi, setelah sering
bersilahturahmi, beliau mendapatkan tugas dari Ayahnya untuk meneruskan Tugas
Sang Ayah yakni menyebarkan Agama Islam di Banten.
“Putraku, Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa. Pengetahuan
agamamu pun sudah cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau sebarkan kepada
seluruh rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.
“Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya berpamitan
kembali ke Banten.
Setiba di Banten, Syaikh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi
dakwah ayahnya. Bersama para santrinya, beliau berkeliling dari satu daerah ke
daerah lainnya, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor,
hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umun, hubungan antara
Prabu Pucuk Umun dan Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah buruk yang tidak di
pahami oleh Masyarakat, Prabu Pucuk Umun tetap bersih Kukuh untuk
mempertahankan Ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu sebagai agama resmi di
Pajajaran) di Banten, namun tidak sedemikian dengan Syaikh Maulan Hasanuddin,
beliau terus melanjutkan Dakwahnya dengan Lancar.
Namun pada masa itu Prabu Pucuk Umun menantang Syaikh
Maulana Hasanuddin untuk berperang, namun bukan berperang untuk duel, namun
beradu Ayam, karna jika berperang secara duel akan menimbulkan korban yg
banyak, itulah alasan Prabu Pucuk Umun mengapa berperang beradu ayam karna
tidak ingin menimbulkan banyak korban.
“Wahai, Mualana Hasanuddin. Jika kamu ingin menyebarkan
Islam di daerah Banten, kalahkan dulu ayam jagoku! Jika kamu berhasil
memenangkan pertarungan ini, jabatanku sebagai Bupati Banten Girang akan
kuserahkan kepadamu. Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus
menghentikan dakwahmu itu,” kata Prabu Pucuk Umum.
“Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba menerima
tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin.
Prabu Pucuk Umun memilih tempat adu kesaktian Ayam di Lereng
Gunung Karang, karna di anggap sebagai tempat yang netral, pada waktu yang di
tentukan Kedua Pihak pun beramai-ramai mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan
Syaikh Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa Ayam Jago saja melainkan membawa
Pasukan untuk meramaikan dan menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan
satu sama lain membawa senjata, karna untuk menghadapi berbagai kemungkinan,
Prabu Pucuk Umun membawa Golok yang terselip di pinggangnya dan Tombak yang di
genggamnya, namun Syaikh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka
milik Ayahnya yakni Sunan Gunung Djati yang di warisi kepada Syaikh Maulana
Hasanuddin.
Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil
tempat di tepi utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut
gondrong sampai leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu, Syaikh
Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah
dan sorban putih di kepala.
Sebelum pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke
tengah arena. Kedua ayam jago tersebut masih berada di dalam kandang anyaman
bambu. Ayam jago milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang
besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana
Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata
tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada
saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.
Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan
salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad
Saleh. Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara,
Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya
menjadi ayam jago.
Akhirnya pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah
pihak saling memberikan semangat kepada jagoannya masig-masing.
Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai di tanah dan
meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana
Hasanuddin. Para pendukung Pucuk Umun pun menjadi bungkam, sedangkan pendukung
Syaikh Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil meneriakkan:
“Allahu Akbar! Hidup Syaikh Maulana Hasanuddin! Hidup
Syariat Islam!”
Akhirnya, Syaikh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan
adu ayam itu. Prabu Pucuk Umun pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana
Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya
sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga
berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.
“Selamat, Maulana Hasanuddin! Sesuai dengan kesepakatan
kita, maka kini engkau bebas melakukan dakwah Islam sekaligus menjadi penguasa
di Banten Girang,” ujar Prabu Pucuk Umun.
Setelah itu, Prabu Pucuk Umun berpamitan. Ia bersama beberapa
pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau
ujung barat Pulau Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar
wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umun, para pengikutnya
diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu. Konon,
merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy.
Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umun yang terdiri dari
pendeta dan punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan
Syaikh Maulana Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syaikh
Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan
tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten
Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor
(Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.
Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu
dengan membawa kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten
kemudian diubah menjadi negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap
mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama.
Pada tahun 1526 M Banten Pasisir berhasil direbut oleh
Panglima Fadillah Khan dan pasukannya, Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten
Pasisir, pada usia 48 tahun. Konon ketika terjadi huru hara, Hasanudin dibantu
oleh beberapa pasukannya dari Banten Girang. Kelak dikemudian hari Banten
Girang menggabungkan diri dengan wilayah Banten Pesisir, sehingga praktis
Hasanudin menjadi penguasa Banten Pasisir dan Banten Girang. Hampir semua
penduduk Banten beralih agama menganut Islam. Ia bernama nobat Panembahan
Hasanudin.
Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Hasanudin membangun
wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan administratif. Ia pun
mendirikan istana yang megah yang didberi nama Keraton Surasowan, mengambil
nama kakeknya (Surasowan) yang sangat menyayanginya. Nama Keraton tersebut
akhirnya berkembang menjadi nama kerajaan. Berita ini diabadikan didalam
prasasti tembaga berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul Nazar (1671-1687),
nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.
Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan
Hasanuddin memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan
kekuasaan Cirebon. Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura,
kemudian memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf
menggantikan posisinya sebagai penguasa Banten.
Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya
yang kedua, yakni Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang
juga sering disebut Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh
putera, diantaranya Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus Angke Bupati
Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat anak oleh bibinya, Ratu
Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara.
Kini Banten telah di akui di berbagai wilayah bahkan sampai
ke daerah eropa maupun asia, banten juga sempat di sebut sebagai Amsterdam
karna banten adalah pusat perdangan terbesar, banten juga terkenal akan
kebudayaannya yang mencolok classic sangat mengundang para tamu untuk
melihatnya.
Teruslah mengetahui sejarah Perkembangan Banten, karna
melewati Sejarah, anak cucu kita pasti akan Bangga dengan kerja Keras para
Pahlawan di Banten.
Sultan Malikul Dhahir
Sultan Malikul Dhahir adalah anak pertama dari Sultan
Malikussaleh yang mengambil alih pimpinan Kerajaan Samudera Pasai dari tahun
1297-1326 M.Batu nisan terbuat dari granit, terpahat surat At-Taubah Ayat 21-22
serta terdapat teks yang terjemahan: “Kubur ini kepunyaan tuan yang mulia, yang
syahid bernama Sultan Malik Adh-Dhahir, cahaya dunia dan sinar agama. Muhammad
bin Malik Al-Saleh, wafat malam Ahad 12 zulhijjah tahun 726 H (19 Nopember 1326
M)
AL-MALIK AZH-ZHAHIR
MUHAMMAD atau Sultan Muhammad, lebih dikenal dengan sebutan Sultan Malikul
Zhahir, dimakamkan di sisi ayahnya, Al-Malik Ash-Shalih atau Sultan
Malikussaleh, di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.
Putra pertama Sultan Malikussaleh ini wafat 726 Hjriah atau 1326 Masehi. Pada nisam makan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad sebelah kepala (utara) terdapat ukiran kaligrafi ayat Al-Qur’an Surah At-Taubah: 21-22.
“Ayat ini menerangkan tentang rahmat, keridhaan, syurga serta kesenangan yang kekal bagi orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta,” kata Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam dari Central Information for Samudra Pasai Heritage (CISAH) kepada ATJEHPOSTcom, pekan lalu.
Terukirnya ayat tersebut pada nisan Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad, kata Taqiyuddin, merupakan suatu pengungkapan bahwa sultan yang juga bergelar dengan “Syamsuddunya waddin” atau Matahari Dunia dan Agama ini adalah seorang yang telah berperan besar dalam menyebarkan Islam sebagaimana ayahnya, Sultan Al-Malik Ash-Shalih.
“Ia dan ayanya adalah peletak fondasi yang kukuh bagi Kerajaan Islam Samudra Pasai (Syammuthrah/Sumatera). Masa pemerintahan keduanya merupakan periode terpenting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara,” ujar Taqiyuddin.
Berikut terjemahan inskripsi ayat Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 21-22 pada nisan Al-Malik Azh-Zhahir:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar. Maha benar Allah Yang Maha Agung”
Putra pertama Sultan Malikussaleh ini wafat 726 Hjriah atau 1326 Masehi. Pada nisam makan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad sebelah kepala (utara) terdapat ukiran kaligrafi ayat Al-Qur’an Surah At-Taubah: 21-22.
“Ayat ini menerangkan tentang rahmat, keridhaan, syurga serta kesenangan yang kekal bagi orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta,” kata Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam dari Central Information for Samudra Pasai Heritage (CISAH) kepada ATJEHPOSTcom, pekan lalu.
Terukirnya ayat tersebut pada nisan Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad, kata Taqiyuddin, merupakan suatu pengungkapan bahwa sultan yang juga bergelar dengan “Syamsuddunya waddin” atau Matahari Dunia dan Agama ini adalah seorang yang telah berperan besar dalam menyebarkan Islam sebagaimana ayahnya, Sultan Al-Malik Ash-Shalih.
“Ia dan ayanya adalah peletak fondasi yang kukuh bagi Kerajaan Islam Samudra Pasai (Syammuthrah/Sumatera). Masa pemerintahan keduanya merupakan periode terpenting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara,” ujar Taqiyuddin.
Berikut terjemahan inskripsi ayat Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 21-22 pada nisan Al-Malik Azh-Zhahir:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar. Maha benar Allah Yang Maha Agung”
GELAR MATAHARI DUNIA DAN ISLAM
SULTAN AL-ARIFEEN SYEIKH ISMAIL
Nama sebenar ialah Sultan Al-Arifin Syeikh Ismail Ibn Saiyid
Abdul Qadir ibn Saiyid Abdul Jabbar (r.a). Beliau adalah keturunan ke 18
Rasullullah (S.A.W). Sultan Al-Ariffin Syeikh Ismail r.a dilahirkan pada 17
Rabiulawal tahun 867H bersamaan 1463M di Baghdad.
Bapanya bernama As-Saiyid As-Syeikh Abdul Qadir serta ibunya
bernama Sayyidah Fatimah. Moyang beliau Sultan Al-Awliya’ Syeikh Abdul Qadir
Al-Jilani, seorang Wali Allah yang sangat mashyur di seluruh dunia. Beliau juga
dikenali sebagai Wali Lanang di Kepulauan Melayu.
Menurut riwayat, sewaktu ke Madinah menziarahi Makam Nabi,
beliau telah mendengar satu suara yang menyuruh beliau mengembangkan ajaran
Islam ke Kepulauan Jawa.
Beliau kemudiannya mengembara dan akhirnya tiba di Pulau
Besar bersama-sama 16 orang sahabat pada tahun 1495M bersamaan 900H antaranya
guru beliau Syeikh Yusuf As-Sidiq serta saudaranya Saiyid Ibrahim r.a. Di Pulau
Besar ajaran Islam berkembang luas dan beliau mempunyai pengikut yang sangat
ramai di seluruh Kepulauan Melayu termasuk India, Samudera Pasai, Champa dan
Kelantan. Antara murid beliau yang sangat masyhur ialah Raden Maulana Makhdum
Ibrahim (Sunan Bonang) serta Raden Paku (Sunan Giri).
Sultan Al-Arifin Syeikh Ismail r.a meninggal dunia pada 17
Rabiulawal tahun 925H ketika berusia 58 tahun serta dikebumikan di sini. Makam
ini juga menjadi tumpuan utama pengunjung di Pulau Besar bagi menghargai jasa
dan sumbangan besar Allahyarham ketika mengembangkan agama Islam di seluruh
Kepulauan Melayu
SULTAN ABDURRASYID DAN TOMENGGONG RONGGO SOERIA KASOEMA
Sultan Abdurrasyid yang pernah menjadi Sultan di Negeri
Solok (Sulu) Mindanau Filipina yang menggantikan kakek beliau yang bernama
Datuk Mahareja Malela. Datuk Maharaja Malela (Maharaja Lela?) mempunyai anak
yang bernama Puteri Fatimah bersuamikan seorang saudagar dari Negeri Magribi
yang bernama Sayid Abdullah Al Qadri Al Idrus Al Habsyi Al Magribi, mempunyai 3
orang anak yang bernama : (1) Abdurrasyid, (2) Mariang (Maring?), dan (3)
Muharram. Setelah mempunyai anak 3 orang tersebut Sayid Abdullah Al Qadri Al
Idrus Al Habsyi Al Magribi pulang kembali ke Negeri Magribi.
Setelah Maharaja Malela meninggal dunia kedudukan beliau
digantikan oleh Abdurrasyid sebagai cucu pertama. Sebagai umat Islam Sultan
Abdurrasyid berkeinginan menunaikan rukun Islam yang kelima dan niat tersebut
dilaksanakan beliau yang pada waktu itu keberangkatan berhaji ke Mekah
menggunakan kapal laut. Namun di tengah perjalanan kapal yang ditumpangi beliau
terkena badai besar, dan setelah lama terombang ambing di lautan akhirnya
terdampar di pinggiran Sungai Barito yang menjadi bagian wilayah Bandarmasih.
Situs bekas kapal Sultan Abdurrasyid di daerah Lupak Kabupaten Batola masih ada
sampai sekarang.
Di Bandarmasih (Banjarmasin sekarang) beliau bertemu jodoh
dengan seorang wanita bernama Galuh Noerijah alias Katijah binti penghulu putih
Abdurrahman bin Kiai Warja Wijaya. Selama kepergian Sultan Abdurrasyid ke Mekah
telah diamanahkan beliau bahwa untuk sementara kerajaan diserahkan kepada adik
beliau Datuk Mariang yang kemudian menurut kabar dari keturunan Datuk Mariang
inilah yang memerintah di Solok Mindanau Filipina. Sedangkan saudara beliau
Datuk Muharram memancarkan keturunan di Kutai.
Dari perkawinan mendapatkan 4 (bukan 5) orang anak yaitu :
1. ABU BAKAR
2. KHALIFAH
MUKSIN
3. GALUH SYARIAH
4. KIAI RANGGA
KESUMA
Kiai Rangga Kesuma mempunyai empat turunan a.l :
1. BAYAN AJI
2. RADEN RONGGO
3. KIAI MUSA
4. KIAI PANJANG
BAYAN AJI mempunyai keturunan berjumlah 7 (tujuh) yaitu :
1. HM NORMAS
2. UNG DIBAB (M
JAFRI)
3. GALUH RAHMAH
4. GALUH AMNAH
(AMINAH)
5. H. HAMID
6. HM SAID
(CORONG) (DATU M. SAID PANDAN SARI LUPAK KAB. BATOLA) Tahun 1800 M s/d 1905 M
7. RONGGO
ABDURRAHMAN (RONGGO SOERIA KASOEMA)
Tidak banyak cerita mengenai Ronggo Soeria Kasoema. Namun
menurut berita dari surat kabar terbitan Semarang De Locomotief tanggal 19 Mei
1877 disebutkan bahwa Toemenggoeng Soeria Kasoema boleh memakai gelar Radhen
karena telah diangkat menjadi Ronggo van de afdeeling Bandjermassin. Juga pada
tahun 1885 Eisenberger menemukan naskah UUSA (Undang-undang Sultan Adam) yang
disimpan dalam arsip Kantor Residen Banjarmasin yang ditulis oleh Tumenggung
Soeri Ronggo (Tomenggong Ronggo Soeria Kasoema) tahun 1885.
Sumber : MASYARAKAT
PEDULI SITUS BERSEJARAH MAKAM TOMENGGONG RONGGO SOERIA KASOEMA