Rombongan kendaraan melaju mempercepat langkah dari Yatsrib
ke Mekah karena didorong oleh rasa kerinduan kepada seseorang yang dicintai.
Mereka sudah berjanji kepada Rasulullah untuk bertemu. Setiap orang yang berada
di rombongan itu sangat rindu dengan suatu waktu pada saat akan merasakan
kebahagiaan bertemu dengan Nabi Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wasallam dan
meletakkan tangan di atas tangan beliau dengan membaiatnya untuk selalu mendengarkan
perintahnya dan taat, serta berjanji untuk saling menguatkan dan menolong.
Di antara rombongan itu, ada orang tua, salah seorang pemuka
kaum, membonceng anak laki-laki satu-satunya yang masih kecil di belakangnya.
Ia meninggalkan sembilan anak perempuan di Yatsrib karena ia tidak memiliki
anak laki-laki yang kecil selainnya. Orang tua itu sangat ingin anaknya bisa
menyaksikan baiat dan tidak kehilangan hari agung yang dianugerahkan itu. Orang
tua itu bernama Abdullah ibnu Amr al-Khazraji al-Anshari. Anaknya bernama
Jabir ibnu Abdullah al-Anshari.
Keimanan bersinar di hati Jabir ibnu Abdullah, sedangkan ia
masih kecil dan segar. Keimanan pun menyinari setiap sendinya. Islam menyentuh
jiwanya yang halus seperti tetesan-tetesan hujan menyentuh kelopak bunga.
Tetesan-tetesan itu pun membukanya dan memenuhinya dengan semerbak
wangi-wangian. Hubungan Jabir dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
menjadi kuat sejak mudanya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia
datang berhijrah ke Madinah, anak kecil yang mukmin ini berguru kepada Nabi
pembawa petunjuk dan rahmat. Ia pun menjadi sebagian orang utama yang
diluluskan oleh pendidikan Muhammad menjadi penghafal Kitab Allah untuk
kepentingan manusia dan menjadi periwayat hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam. Cukuplah kita mengetahui bahwa Musnad Jabir ibnu Abdullah terkumpul
di antara kedua sisinya sebanyak 1.540 hadits. Dihafallah semua hadits itu oleh
seorang murid yang pandai dan meriwayatkannya dari Nabi kaum muslimin yang agung.
Imam Bukhari dan Imam Muslim menetapkan dalam dua kitab shahihnya lebih dari
200 hadits dari hadits-haditsnya. Ia menjadi sumber penyiaran dan petunjuk bagi
kaum muslimin sepanjang waktu. Allah pun memanjangkan kehidupannya sehingga
umurnya sampai satu abad.
Jabir ibnu Abdullah tidak mengikuti Perang Badar dan Perang
Uhud bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam karena di satu sisi ia
masih kecil dan di sisi lain ayahnya memerintahkannya untuk tinggal bersama
sembilan saudara perempuannya. Hal itu terjadi karena tidak ada seorang pun
selainnya yang menjaga urusan mereka.
Jabir menceritakan, “Ketika pada suatu malam menjelang
Perang Uhud, ayah memanggilku dan berkata, ‘Sungguh aku tidak melihat diriku,
kecuali terbunuh bersama sahabat-sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
dan sesungguhnya, demi Allah, aku memiliki utang kepada seseorang. Kau
lunasilah utangku, sayangilah saudara-saudara perempuanmu, dan berikanlah
wasiat kebaikan kepada mereka.”
Ketika waktu sudah pagi, ayahku menjadi orang pertama yang
terbunuh di Perang Uhud. Ketika ingin menguburkannya, aku mendatangi Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku
telah membebankan utangnya kepadaku. Dan aku tidak memiliki sesuatu pun untuk
melunasinya, kecuali apa yang dapat dipetik dari pohon kormanya. Kalau aku
mengandalkan pohon itu untuk melunasi utangnya, maka aku akan melunasinya
selama beberapa tahun, sedangkan saudara-saudara perempuanku tidak memiliki
harta untuk dinafkahkan kecuali dari pohon itu.”
Rasulullah berdiri dan pergi bersamaku ke tempat
penyimpanan korma kami. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepadaku, “Panggillah orang-orang yang berpiutang kepada ayahmu.”
Maka aku pun memanggil mereka. Beliau masih saja menakar hingga
Allah melunasi utang ayahku dengan korma. Aku melihatnya seperti sediakala,
seakan-akan tidak berkurang satu biji korma pun.
Sejak ayahnya meninggal, Jabir tidak pernah absen dari satu
peperangan pun bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.. Di setiap
peperangan, ia mengalami sebuah peristiwa yang diriwayatkan dan dijaga. Kita
tinggalkan pembicaraan tentangnya. Ia sendiri yang menceritakan salah satu
peristiwa bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..
Jabir berkata, “Pada hari persiapan Perang Khandaq, kami
menggali. Lalu batu besar yang keras menghalangi kami, sehingga kami pun tidak
mampu untuk memecahkannya. Kami datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam dan berkata, ‘Wahai Nabi Allah, jalan kami terhalang dengan batu besar
yang keras. Cangkul-cangkul kami tidak dapat berbuat apa pun terhadapnya.’ Maka
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Tinggalkan batu itu, aku
akan turun ke batu itu.’ Kemudian beliau berdiri sedangkan perutnya diganjal
dengan batu karena sangat lapar. Hal itu terjadi karena kami tidak makan selama
tiga hari. Maka beliau mengambil cangkul dan memukul batu itu. Maka batu itu
pun menjadi pasir secara perlahan-lahan.”
Ketika itu, keinginanku untuk menolong rasa lapar yang
menimpa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bertambah. Maka aku pun
menghadapnya dan berkata, “Apakah kau izinkan aku pergi ke rumahku wahai
Rasulullah?”
Beliau berkata, “Pergilah.”
Ketika sampai di rumah, aku berkata kepada istriku, “Aku
lihat baginda Rasulullah merasakan rasa lapar yang amat sangat. Tidak ada
seorang pun manusia yang dapat menahannya. Apakah kau mempunyai sesuatu?”
Dia berkata, “Aku punya sedikit biji gandum dan kambing
kecil.”
Aku berdiri menuju kambing itu lalu menyembelihnya dan memotong-motongnya.
Setelah itu, aku letakkan di kuali. Aku juga mengambil biji gandum dan
menggilingnya. Lalu aku serahkan kepada istriku. Ia pun memasaknya. Ketika aku
tahu daging itu hampir matang, dan adonan sudah lembut dan hampir matang, aku
pergi menuju Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.. Aku katakan kepadanya,
“Kami sudah membuat sedikit makanan untukmu wahai Nabi Allah. Makanlah beserta
satu orang atau dua orang yang kau ajak makan bersamamu.”
Beliau bertanya, “Berapa banyak makannya?”
Aku pun menyebutkan banyaknya. Ketika Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam tahu ukuran makan itu, beliau berkata, “Wahai para pembuat
parit, Jabir telah membuat makanan untuk kalian. Kemarilah kita menuju
rumahnya.”
Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Pergilah ke
istrimu dan katakan kepadanya, ‘Jangan kau turunkan kualimu dan jangan kau buat
roti adonanmu sampai aku datang.’”
Aku pun pergi ke rumah. Aku merasa gundah dan malu. Tidak
ada yang tahu keadaanku ini kecuali Allah. Aku pun berkata, “Apakah penduduk
Khandaq akan datang kepada kita dengan hanya disuguhi satu sha gandum dan satu
kambing kecil?”
Aku pun menemui istriku dan berkata, “Celakalah engkau,
ketahuan keadaanku yang sebenarnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam akan
datang bersama semua pembuat parit ke rumah kita.”
Ia pun berkata, “Apakah beliau berkata, ‘Berapa banyak
makananmu?’”
Aku jawab, “Ya.”
Ia berkata, hilangkanlah kegundahanmu dari dirimu, Allah dan
Rasul-Nyalah lebih tahu. Hilanglah kesedihanku dengan perkataannya itu.
Makanan itu hanya sedikit hingga Rasulullah tiba. Bersama
beliau, ada orang-orang Anshar dan Muhajirin. Beliau berkata, “Masuklah dan
jangan berdesak-desakan.”
Kemudian beliau berkata kepada istriku, “Datangkan seorang
pembuat roti untuk membuat roti bersamamu. Duduklah menunggui kualimu dan
jangan menurunkannya dari tempat apinya.”
Kemudian ia pun mulai memperbanyak roti, mengisinya dengan
daging, dan mendekatkannya kepada para sahabat beliau, sedangkan mereka
menyantap makanan hingga semuanya kenyang. Kemudian Jabir menyusul sambil
berkata, “Aku bersumpah kepada Allah, bahwa mereka ramai-ramai memakan makanan
itu, sedangkan periuk kami mendidih dengan penuh seperti sediakala dan adonan
kami bisa dibuat kue seperti sediakala. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepada istriku, “Makanlah dan bagikanlah.”
Ia pun makan dan mulai menghadiahkannya sepanjang hari itu.
Karena itulah, Jabir ibnu Abdillah al-Anshari telah menjadi sumber penyiaran
dan petunjuk bagi umat muslim dalam tempo yang lama. Allah telah memanjangkan
umurnya hingga hampir satu abad.
Di suatu tahun, ia keluar menuju Kerajaan Romawi untuk jihad
fi sabilillah. Pasukan itu dipimpin oleh Malik ibnu Abdillah al-Khatsami.
Malik berkeliling-keliling dengan tentaranya. Mereka berangkat untuk mengetahui
situasi mereka dan memperkuat kekuatan mereka, serta berbuat baik kepada para
pembesarnya dengan kekuatan yang mereka miliki.
Malik kemudian bertemu dengan Jabir ibnu Abdillah yang
sedang berjalan kaki, padahal ia sedang membawa keledainya yang diikat dengan
tali kekangnya dan dituntun olehnya. Maka Malik berkata, “Ada apa denganmu,
wahai Abu Abdullah? Kenapa kau tidak menungganginya? Padahal Allah memberikan
kemudahan kepadamu dengan punggungnya yang dapat membawamu.”
Maka ia pun berkata, “Aku dengar Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu dalam
mengerjakan perintah Allah, maka Allah akan mengharamkannya masuk neraka.’”
Kemudian Malik meninggalkannya dan pergi hingga esok pagi ia
muncul mendahului para tentara. Kemudian Malik menoleh kepadanya dan
memanggilnya dengan suara keras, “Wahai Abu Abdullah, kenapa engkau tidak
menunggangi keledaimu, padahal itu milikmu.”
Jabir pun mengetahui maksudnya dan menjawabnya dengan suara
yang keras, “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu dalam melaksanakan perintah Allah, maka
Allah mengharamkannya masuk neraka.’”
Orang-orang pun melompat dari binatang tunggangannya.
Mereka semua mendapatkan ganjaran ini. Tidak ada pasukan
yang pejalan kakinya lebih banyak dari pasukan itu.
Beruntunglah Jabir ibnu Abdillah al-Anshari. Ia telah
membaiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, sedangkan ia masih
kecil, belum balig, berguru kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam
sejak kuku-kukunya masih halus, meriwayatkan hadits-hadits yang dinukil oleh
para perawi hadits, berjihad bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
padahal ia seorang pemuda dan menebarkan debu ke kakinya di jalan Allah padahal
ia sudah tua.
http://kisahislam.wordpress.com/2007/05/21/jabir-ibnu-abdullah-al-anshari-rodhiallahu-anhu/